Ada dua mantan presiden yang masih hidup. Keduanya memiliki posisi dan peran yang hampir bertolak belakang. Relasional pribadi dan politik juga tidak cukup hangat. Lebih cenderung kaku, dingin, dan tidak ada kaitan. Memang tidak ada sebuah keharusan untuk baik-baik saja. Usai mangkatnya BJ Habibie, tidak ada lagi sesepuh, presiden yang berjiwa negarawan.
Leluasa datang ke istana, berbincang dengan presiden yang menjabat, sebagai seorang tua kepada anaknya. Sesepuh dalam arti yang sesungguhnya. Pemandangan adem, ketika mengantar dengan penuh hormat, membungkuk dan penghormatan tulus itu terbaca, bukan sekelas pencitraan atau jaga image sebagai seorang pemimpin. Itu sudah lewat, tidak akan ada lagi.
Megawati sebagai pengusung Jokowi untuk dua periode bukan sosok yang sangat terbuka seperti Habibie. Tidak akan ada model tampilan epik kedatangannya untuk memberikan nasihat, masukan, atau dukungan secara terbuka pada yuniornya, penerusnya, dan juga kadernya. Padahal jika itu dilakukan, akan sangat bagus. Rakyat melihat adanya kesinambungan kepemimpinan.
Lebih lucu relasi Jokowi dan SBY. Aneh dan seolah ada yang berjarak. Atau karena pola pendekatan dan didikan militer SBY jadi kaku, resmi, dan lucu. Padahal Jokowi sangat cair dan tidak akan kesulitan jika ada komunikasi. Model protokoler birokratis militer SBY sangat tidak ada kesulitan bagi Jokowi yang tentunya memahami kebiasaan pendahulunya itu.
Lihat saja relasional "atasan bawahan" ketika SBY presiden dan Jokowi gubernur, Jokowi selalu menuntupkan mobil presiden, mengantar sampai ke dalam mobil. Pasti akan dilakukan yang sama, sebagaimana kebiasaan lama itu juga terjadi kepada almarhum Habibie. Pertemuan yang sangat baik demi menjaga kewibawaan negara. Ada persoalan katakan saja, tidak perlu berpolemik dan malah menjadi tertawaan anak-anaknya.
Miris sebenarnya melihat beberapa kali SBY malah menanggung malu. Dua kisah besar SBY balik kanan dengan penuh malu, ketika mereka, Demokrat dengan dalih menyerap aspirasi akar rumput mengadakan, tour de Java, dengan pernyataan-pernyataannya yang memanaskan telinga, respons Jokowi hanya datang ke Hambalang dan menyatakan, sayang mangkrak. Hanya datang dan tidak banyak cakap. Rancangan besar keliling Indonesia berantakan, balik kanan. Seperti Hambalang yang tidak jadi diteruskan.
Pun ketika Jokowi bertemu Prabowo dan naik kuda bersama, SBY seolah tersinggung dan melakukan aksi yang cukup heroik, dengan muka merah padam melakukan konpres. Pilihan kata dan kalimat , serta gerak bahasa tubuh menunjukkan lepas kendali. Selengkapnya di sini
Itu periode pertama. Pas menghadapi pemilu untuk pilpres kedua, lagi-lagi SBY "berulah", ia keluar dari rombongan arak-arakan KPU dan pulang. Tampilan kekanak-kanakan yang terus terulang. Hal yang sejatinya tidak selayaknya demikian.
Kini, di tengah pandemi, Ada tiga pernyataan baik SBY langsung, ataupun via AHY dan juga kader mereka. Toh satu itu SBY. Tidak bisa dipisahkan Demokrat-SBY. AHY, mengatakan negara bisa porak-poranda. SBY mengatakan tidak pernah memenjarakan warganya, dan diikuti Benny K Harman yang menyatakan pemerintah melanggar hukum dengan Perpu untuk pandemi ini.
Politik kuda, cepat, kuat, dan bergegas itu bukan ciri SBY, malah menjadi lucu, dan gagap sendiri. Mereka bukan tipikal model menyerang, tidak fasih memainkan peran itu. Jauh kedodoran dan malah membalik ke muka sendiri.
Lihat saja tour de Java, jadi amburadul. Cara berpolitik SBY itu memang lamban, tenang, penuh perhitungan. Aneh dan lucu ketika menyerang ke sana ke mari dan malah akhirnya kebobolan banyak. Ini mirip pertandingan bola ala Italia dengan gerendel namun memainkan taktik menyerang ala Inggris. Serangan melempem, malah kena gol lambung dan telak di depan gawang kosong.