Selamat Merayakan Hari Kartini Para Perempuan Indonesia
Peringatan Hari Kartini biasanya dilakukan dengan perayaan para perempuan baik tua, muda, dan anak-anak mengenakan kebaya, sebagaimana Ibu Kartini dulu berpakaian. Aneka lomba dan kemeriahan dengan bapak-bapak membuat nasi goreng, nyambel, atau lomba masak kaum laki-laki.
Sering seremoni yang lebih mementingkan kemeriahan, namun abai esensi lebih riuh rendah, semarak, dan media sosial menjadi ajang itu. Jauh dari nilai perjuangan Ibu Kartini. Tidak salah namanya upacara, berpakaian, dan juga lomba masak atau mendadani pasangan, namun apakah itu cukup dan berdaya guna?
Kondisi prihatin ini memberikan kesempatan untuk lebih dalam, meresapi, dan menghayati itu sebagai sebuah wujud syukur. Pakaian itu boleh dan sah-sah saja, namun apakah memahami hal yang lebih mendasar dan esensial lagi? Atau malah hanya sampai berbalut kain, namun abai akan perjuangannya?
Berbicara peran perempuan sudah tidak lagi identik dengan zaman Ibu Kartini. Perjuangan kesetaraan peran, hak, serta kewajiban. Dulu, anak perempuan adalah warga kelas kedua, yang tidak memiliki hak apapun. Pendidikan formal apalagi. Berbicara juga tidak boleh. Ayah, kakak laki-laki, lebih berhak, dan boleh memutuskan bahkan kehidupan mereka.
Kini, jangan tanya soal pendidikan, perempuan di Indonesia, bahkan mengalahkan Amerika Serikat ada yang pernah jadi presiden. Saat ini ketua DPR RI adalah perempuan. Menteri jangan tanya lagi, kedudukan dalam banyak jabatan sudah sangat biasa dipegang perempuan. Narasi perempuan tidak boleh ini dan itu hanya karena politis sesaat, dan yang biasa memainkan pun memberikan habatan pada perempuan. Naif dan munafik saja.
Hari-hari ini, dalam kondisi pandemi ini, Ibu Kartini pasti akan bangga. Menyaksikan ibu-ibu memegang peran sangat penting, vital, bahkan krusial di dalam rumah tangga. Tidak hanya peran ganda, kali ini bahkan lebih dari segala peran.
Mendidik, bukan hanya segi pendidikan di rumah, pendidikan dan sekolah dari rumah karena pandemi, posisi ibu paling banyak tersita waktu, energi, dan perhatiannya. Susah seorang bapak mau tahu pendidikan anak. Pun kebiasaan dan kedekatan relasional kepada Ibu lebih membuat sekolah dari rumah itu Ibu lebih berperan.
Lebih banyak nada gusar, keluhan, dan curhatan dari ibu dari bapak di media sosial karena keadaan ini. Tidak soal bapak tidak biasa mengeluh, ini karena memang sosok laki-laki tidak banyak terdampak. Lebih sering keluar dengan banyak dalih.
Manajemen rumah lebih rumit. Waktu anak dan juga suami yang biasanya berkurang 8-10 jam di sekolah atau kantor kini sepenuhnya di rumah. Ini bukan persoalan sederhana. Keuangan jelas berdampak. Konteks menengah ke bawah yang sangat mudah dan rentan guncang dengan perubahan keadaan.
Pendapatan banyak yang berkurang, minimal tetap, namun pegeluaran sangat jauh melonjak. Paket data untuk sekolah dan kerja dari rumah pasti melonjak. Makanan baik berat atau ringan lebih sering tersedia. Waktu yang ada hanya untuk diam, duduk, dan kerja atau sekolah tentu lebih sedikit. Kecenderungan yang ada adalah makan dan ngemil.