Cukup menarik, hampir tiga hari masih cukup panas pembicaraan tahbisa Uskup Ruteng. Apalagi kemudian diikuti pernyataan banyak Gereja Setempat untuk meniadakan Misa selama dua minggu ke depan. Eh pagi ini ada juga pernyataan setingkat Kepausan, bahkan hingga Pekan Suci dan Tri Hari Suci dengan puncaknya Paskah pun ditiadakan perayaan bersama umat.
Pekan Suci dan Paskah masih bisa melihat perkembangan lebih lanjut di Indonesia, Dan rata-rata keuskupan masih belum memutuskan, masih menunggu keadaan yang serba belum pasti. Berbeda dengan Vatikan dan Italia yang hingga Paskah masih belum bisa berkumpul. Kondisi di sini masih cukup belum memberikan indikasi bagaimana.
Beberapa pembicaraan di grup percakapan, apalagi berkaitan dengan penahbisan kemarin, cukup memilukan, ketika sebagian besar yang mencela dengan keras itu adalah "anak-anak" rohani Bapa Kardinal. Hanya melihat sepotong, bahwa tahbisan tetap berlangsung. Sepanjang hari ketika hari pelaksanaan itu pembicaraan hanya berkisar itu, dan sepihak. Ada dua grup yang intens membahas ini dan ada salah satu lainnya tidak cukup ramai karena grup campur. Jadi hanya sebentuk kekecewaan.
Ada pernyataan bahkan meminta membuat surat ke KWI agar uskup mengadakan klarifikasi. Mengapa memaksa diri. Ada pula yang mengatakan mengapa tidak ada ketaatan atau bahkan solider dengan bangsa dan negara. Komentar lain ini seolah pengalaman pribadinya yang mengatakan, ngeyelan, dulu saya juga dihakimi begitu, he..he...he...
Baru kemarin, ada sedikit pernyataan, bukan resmi juga, hanya dalam pesan percakapan, salah seorang uskup mengatakan, bahwa penahbisan kemarin sudah melewati batas akhir sebagaimana diatur oleh KHK, Kitab Hukum Kanonik, Hukum Gereja yang memberikan syarat 60 hari, atau dua bulan usai diumumkan untu ditahbisakan. Nah ini sudah mundur sebulan, dan itu sudah atas dispensasi Vatikan tentunya. Sangat tidak mungkin dispensasi lagi.
Paling legal dan juga logis. Toh tetap saja model demikian tidak terdengar lebih luas lagi. Masih saja ribet soal ketidakmau tahuan Gereja, mengandalkan imanlah, dan sebagainya. Padahal lepas dari itu kalau mau mendengarkan dengan lebih jelas dan jernih.
Politik.
Ternyata ada juga aroma politik di sana. Bagaimana Benny K Harman menyalahkan Kepala Gugus Tugas Pengendalian Corona, terlambat memberikan surat. Kata kuncinya jelas terlambat, sebagaimana kata SBY di dalam beberapa kali pernyataan, pemerintah lamban. Konteks politik yang sama.
Jelas bisa dilihat, kapan Gugus Tugas ini dibentuk, kemudian apakah ia mereka tahu apa yang terjadi di Ruteng sana, plus, apa paham dengan yang terjadi dengan adat budaya di Ruteng tentang tahbisan. Ini sih sejatinya bukan polemik, jika si politikus yang tahu baik kondisi setempat malah bisa memfasilitasi. Pasti berbeda, jika partai penguasanya Demokrat.
Sebagai politikus, pusat lagi, bisa memberikan masukan, tamu undangan inti, keluarga besar 100, pejabat dengan keluarga 100, uskup maksimal paling juga 20 paling banyak, pastor yang berkarya di sana misalnya 300. Maksimal 600-750. Ini jelas lebih realistis, tidak arogan kekuasaan politis. Pernyataannya menyalahkan pihak lain. Mana bisa dibatalkan, memang susah, tahu persis wong tahbisan imam saja ribetnya seperti itu.
Kini bersambung dengan keputusan-keputusan yang belum keluar soal Misa ditiadakan untuk dua pekan kedepan. Masih beberapa Keuskupan, setingkat provinsilah wilayah cakupannya, walaupun tidak persis sama, belum menyatakan Misa ditiadakan. Misa, kegiatan lingkungan, dan juga latihan-latihan untuk Haro Raya Paskah sudah banyak yang meniadakan.