Kemarin, salah satu peserta pemilihan puteri-putri-an gagal menghafalkan sila-sila Pancasila. Pro-kontra langsung saja riuh rendah. Pembelaan demi pembelaan terjadi. Pun hujatan ataupun sekadar menyayangkan sama ramainya. Memang masih bisa diterima nalar di tengah maraknya penolakan Pancasila, jika hanya tidak hafal.
Apa iya, ini tidak berimplikasi lebih jauh, dengan banyaknya aksi dan narasi antiPancila misalnya? Sangat mungin juga. Atau benar sebagaimana banyak pembelaan itu karena grogi? Ah apa iya sampai segitunya. Ini ajang bukan main-main, sampai tahap akhir, itu bukan sembarangan. Soal grogi sangat kecil.
Persoalan hafal Pancasila dan tekanan batin dan fisik memang sangat mungkin. Dulu kalau kuliah D3 dan negeri, biasanya ada latsar militer di salah satu kesatuan pendidikan angkatan. Rekan ini menyatakan, jika ia benar-benar tidak hafal Pancasila, selain takut instruktur yang galak, juga beban helm serta rangsel yang harus dibawa.
Tadi dalam sebuah komentar di media sosial, becanda dengan rekan yang berlatar belakang sama. Kalau anak Kimia apapun yang terjadi dengan NaCl tidak akan bisa lupa, bahwa itu garam. Spontan, otomatis, dan sudah tidak akan mikir lagi. Demikian juga dengan Pancasila. Hanya lima kog.
Dulu, guru Bahasa Latin, mengajarkan metode drill, dengan hapalan yang memang sangat kuat. Kata beliau, baru bangun tidur sudah bisa mengatakan satu kata dengan tasrifnya dan konjugasinya. Lha satu kata bisa menjadi enam jenis dan itu menentukan arti kalimat secara keseluruhan. Sekali ingat, susah hilang memang, karena melekat, bukan sekadar hafalan HL, hanya lewat. Mendalam.
Seperti dalam menghafal dalam Bahasa Latin dan peristilahan kimia, pun ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Toh ini hanya soal yang tidak demikian fatal, karena masih bisa menghafal kembali. Bandingkan dengan apa yang terpapar setiap hari dengan hoax, fitnah, dan abai akan tanggung jawab.
Lebih miris lagi adalah adanya pernyataan jika puteri itu ditolak oleh pejabat daerah terkait bahwa tidak tahu jika perwakilan daerahnya. Karena "membuat malu" ditolak, sudah bukan juara, masih tidak hafal Pancasila lagi. Coba jika menang?
Menjadi penting ketika mengaitkan ketidakhafalan Pancasila yang langsung dinyatakan bukan mewakili Sumatera Barat, dengan perilaku ugal-ugalan Andre Rosiade. Apakah iya, tidak hafal Pancasila itu lebih "buruk" secara moral dengan pelaku dugaan "konspirasi" prostitusi?
Mengapa demikian? Ketika heboh prostitusi tidak ada sikap yang sama. Misalnya Andre bukan warga kami. Atau sikap Andre bukan kepribadian kami. Lha nyatanya dia tahu dengan baik perilaku jual beli seksual, mau lapor polisi atau tidak, toh tetap dia tahu adanya prostitusi. Dia yang menyewa, jika menjebak itu ranah anggota dewan, lha buat apa polisi. Toh muara kasus itu juga entah ke mana.
Yang gerah kan para pengusaha hotel dan pelaku pariwisata. Para elit daerah sama sekali tidak ada suara kog. Tiba-tiba langsung responsif mengenai Kalista Iskandar.
Apa iya level kesalahan Kalista Iskadar lebih dari Andre dan kawan-kawannya? Melihat reaksinya kog seolah Kalista demikian buruk, sehingga langsung menyatakan tidak tahu kalau perwakilan daerah. Memangnya prosesnya selama ini bagaimana?