Beberapa waktu lalu, ketika Presiden Jokowi memilih bertemu Prabowo apalagi mengajak dalam kabinet, banyak pihak yang meradang. Ada pula yang merasa marah karena yang berjuang malah seolah dilupakan dan mengajak rival yang main ugal-ugalan dalam kampanye lalu. Pun ada parpol yang ngambeg.
Perasaan gak nyaman, merasa kog enak pelaku kampanye seperti itu ikut dalam pemerintahan, masih banyak dialami oleh pendukung yang belum rela. Apalagi kinerja mereka juga bisa dikata tidak jelas. Toh semua sudah terjadi dan memang harus terjadi.
Dampak politik mulai terasa membaik, kutup yang tercipta secara ekstrem mulai reda. Saling umpat, saling makin kamret dan cebong memang hampir hilang. Metamorfosis kamret menjadi kadrun sempat hampir-hampir tenggelam. Seolah dikotomi dan pengubuan sejak 2014 akan sirna sesuai dengan pernyataan dua kandidat pilpres usai bertemu. Semua adem dan bisa menjadi negara maju dengan pesat jika demikian adanya.
Eh ternyata, tidak berselang lama, awal 2020, banjir bandang menyerbu Jakarta. Beberapa waktu kemudian badai korupsi yang sejatinya bukan kasus baru, namun mulai diungkap satu persatu oleh Menteri BUMN dan juga Kejaksaan, KPK-pun belakangan ikut dalam ajang bersih-bersih ini, dan menyangkut partai politik yang cukup seksi.
Nah ternyata peristiwa-peristiwa ini seolah memantik hibernasi para pelaku penyuka kericuhan ini. Mulai lagi lahir isu lebih baik banjir air dari pada banjir hutang. Padahal jelas-jelas hutang negara terpampang dengan jelas seperti apa faktanya. Jangan anggap ini hanya orang tidak berpendidikan dan tidak ada pengalaman yang mempercayainya.
Umpatan dan makian sebagai aktivitas harian masa kampanye menguat lagi. Seolah tombol on itu tersentuh dan langsung menguar lagi. Kata-kata, makian, dan hujatan kembali membanjiri media sosial terutama. Caci maki kepada presiden yang sempat mereka mulai menguat lagi. Mirisnya ada pula pendidik yang terlihat berperilaku demikian.
Parpol. Ketar-ketir juga parpol dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan pada periode kedua tidak lagi ada beban. Mengapa demikian? Suka atau tidak banyak parpol yang kinerjanya jeblok dan sering mengandalkan pendanaan yang tidak cukup transparant. Kan lumayan berat jika benar-benar memberlakukan pemerintahan yang bersih.
Bersih-bersih jelas sudah dimulai dengan pengungkapan skandal Garudi, Jiwasraya, dan kemudian diperlengkapi dengan OTT KPU. Baik langsung atau tidak langsung toh parpol terlibat di berbagai kasus tersebut. Reaksi dari SBY dan dilanjutkan dengan ide Pansus oleh Demokrat jelas memperlihatkan adanya partai yang merasa tersentil.
Suap KPU yang ditengarai melihatkan PDI-P lagi-lagi partai ada pada satu rangkaian baik langsung ataupun tidak langsung dalam kasus korupsi. Dalam aksi dan reaksi yang tidak proporsional tentu membuat itu makin tidak jelas dan tidak karuan.
Kisah banjir Jakarta, narasi naturalisasi versus normalisasi, toa atau mau yang cara lain, atau banjir yang menahun atau karena abai. Itu lagi-lagi jadi bahan pertikaian yang memanas. Kisah ini cukup mudah menerka siapa yang memainkan narasi. Kelompok pengusung ideologi tertentu yang gencar melakukan kampanye ini. Orang-orang yang sama yang meniup-niupkan isu ketidaknyamanan. Ormas yang dibubarkan ada pada kepentingan ini.
Bagian masa lalu yang merasa terusik. Salah satunya ada Cendana. Keberanian Menkeu menyita aset dari anak-anak Soeharto sedikit banyak, langsung atau tidak langsung juga membuat orang-orang senada pelaku seperti Soeharto dan kroni ketar-ketir. Siapa tidak tahu kekuatan dan kekuasaan Soeharto dan jaringan mereka selama ini. Ketika yang seperti ini saja kena, apalagi yang lain.