Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

"Kerajaan Baru", Manipulator Agama, dan Tabiat Instan di Tengah Lepas Logika Beragama

Diperbarui: 21 Januari 2020   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kerajaan Baru, Manipulator Agama,  dan Tabiat Instan di Tengah Lepas Logika Beragama

Kemunculan kerajaan-kerajaan baru sebenarnya hal yang lucu, namun juga miris, ketika itu berkaitan dengan penipuan. Adanya halusinasi dan mimpi soal kekayaan atau harta karun lagi. Kerajaan di Purworeja, disusul di Blora, dan Jawa Barat. Secara politis ini tidak ada apa-apanya. Namun secara hidup bermasyarakat, ada yang perlu dicermati.

Hal yang senada juga sebenarnya telah hadir dan menjadi pembicaraan tidak kalah hangat, bagaimana bisnis biro umroh yang demikian fenomenal, First Travel, Abu Tour, kemudian disusul dengan investasi bodong dengan label syariah dan pohon kurma, atau perumahan syariah. Ini bukan bicara agama, penggunaan agama dalam bisnis, yang berujung pada penipuan.

Aksi manipulator agama ini sejatinya berkaitan dengan uang atau kekuasaan. Sederhana saja ketika hal itu murah meriah dan mendapatkan hasil yang sangat besar, mengapa tidak? Itu kan hukum ekonomi yang paling dasar. Nah ketika politik sudah berkelindan dengan agama dan itu mendapatkan panggung yang spektakuler dan kemudian menang tragis dan strategis, pengulangan dalam bentuk lain menjadi sangat terbuka.

Kekayaan, kemudian kadang juga kekuasaan, dan penghormatan yang berlebihan itu sangat menggoda. Kekuasaan  ketika tidak bisa diperoleh dengan hal yang normal, wajar, dan semestinya. Ya membuatlah dengan berbagai dalih. Mimpi, wangsit, dan sejenisnya diterapkan, dan mirisnya bangsa ini masih demikian mudah terpedaya dengan hal-hal demikian.

Falsafah Jawa sebenarnya memberikan nasihat, aja gumunan, namun entah mengapa malah demikian mudah terpedaya. Suka atau tidak, toh orang Jawa adalah dominasi atas kultur berbangsa. Ketika orang Jawa sudah terpedaya, ya sama saja semua sudah kena. Ternyata malah menjadi pribadi yang gumunan, bukan menjadi pribadi aja gumunan.

Orang demikian mudah gumun, dengan tampang, tampilan, pakaian, atau aksen tertentu. Tentu ini bukan bicara agama atau ras, namun soal kebiasaan hidup berbangsa ini. Dulu kebarat-baratan, kini kearab-araban seolah unggul dan mestii menjadi jaminan segalanya. Padahal berbeda budaya Arab dengan Islam.

Sisi ini yang dimainkan oleh pemilik kepentingan. Sehingga dengan mudah meruyak dalam segala sendii hidup bersama. Beberapa hal, nampaknya bisa menjadi permenungan bersama.

Tabiat minder dan akhirnya menjadi gumunan. Hal ini lucu dan aneh sebenarnya, karena bangsa ini bangsa yang besar. Namun karena model feodalisme di mana-mana, penjajahan Belanda yang model demikian, membuat bangsa ini menjadi penakut dan mudah goyah. Miris sebenarnya.

Pendidikan dan tabiat yang tidak sampai mampu memilah dan memilih. Salah satu yang parah adalah soal beragama. Selain iman itu perlu yang misteri, mistik, toh juga memerlukan logika. Jadi iman bisa dinalar dengan patut. Tidak jatuh pada pemahaman pokoke dan fanatisme sempit.

Pelaku yang memiliki kepentingan ini sudah memetakan kebiasaan anak bangsa yang masih banyak mabuk agama dan tidak mau menalar iman. Malah yang seharusnya ranah misteri iman dinalar, ini sebuah kesengajaan, bukan demikian saja terjadi. Lahan subur yang dimanfaatkan manipulator agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline