Pagi tadi, membaca sebuah reaksi atas tayangan dalam media sosial jadi berpikir, betapa rentannya media sosial. Ada sebuah photo betapa fanatisnya demi bonsai mengambil bahan di antara telor ular. Melihat gambar dan tulisan yang menyertai saya pribadi mengartikan demikian.
Ternyata ada komentar sangat pendek, perusak habitat. Dari sinilah polemik terjadi. Melihat hal itu, ada tiga kelompok besar yang memiliki sikap. Pertama, pendukung komentar bahwa itu merusak habitat dengan segala argumennya. Dan bahwa menyukai sesuatu tidak perlu dengan merusak yang lain. Ada pula komentar untuk juga menyelamatkan si calon ular.
Kedua, yang bersifat netral atau obyektif. Ini bersoal mengenai cara bertutur yang ditanggapi dengan beragam. Sampai ada yang merasa seolah menantang. Memberikan masukan bahwa itu hanya mengenai pemilihan bahasa. Dan diakui pemilik komentar bahwa ia memang terbatas. Gagasan untuk menyelamatkan telor dan si ular.
Ketiga, kontra. Merasa bahwa itu normal dan sah-sah saja. Mengaitkan dengan agama, bahwa ular boleh dibunuh karenanya telornya juga boleh dirusak. Komentar lain mengatakan seperti profesor saja bahasanya. Tanggapan model begini yang cenderung melebar dan menjadikan panas keadaan.
Syukur bahwa tidak sampai memaki dan mengeluarkan umpatan. Sempat panas dan cenderung meninggi memang. Dan ternyata pada tanggapan lain yang senada, bahwa ini membahayakan habitat ular, sebaiknya ditunda atau diselamatkan juga tidak menjadi polemik dan bersaut-sautan komentar dan tanggapan.
Belajar dari hal ini ada beberapa hal cukup menarik untuk direnungkan;
Latar belakang, pendidikan, pengetahuan, dan etika media sosial sangat beragam. Hal ini bisa menjadi masalah, ketika orang yang berinteraksi itu tidak berjarak.
Reaktif, sumbu pendek, dan ala senggol bacok. Miris adalah kadang orang berpendidikan namun perilakunya demikian abai akan ranah etis. Artinya pendidikannya baik namun pemahaman etisnya tidak selaras.
Berjarak, orang bisa demikian berani menantang orang kadang, karena ada jarak, dunia maya, bukan yang nyata. Tidak yakin kog orang bisa berargumen dan ngotot demikian ketika berhadap-hadapan. Kemungkinan waktu untuk mencerna dan menjawab spontan itu bisa teralihkan ketika di dunia maya. Dan ini yang sering dimanfaatkan pribadi-pribadi yang suka berdebat dan mendebat.
Keakuan yang gede. Aku pasti benar, orang lain yang berseberangan pasti salah. Miris, ini terpapar juga karena pemahaman teologis sekelompok orang yang berciri demikian. Melihat perbedaan sebagai musuh. Tidak jarang juga mencari-carai bahan untuk mendebat dan mengalahkan orang. Hal yang sangat jamak dan mudah kita temui di dunia maya.
Kodrati sih berbicara keakuan, level sufi, orang yang sudah tercerahkan, orang yang sudah berkesadaran, atau orang yang sudah melampaui dirinya memang tidak banyak. Mereka yang sudah tidak akan lagi menomorsatukan dirinya, dan memberikan kesempatan pihak lain juga berargumen.