Hari-hari ini sedang hangat pembicaraan soal korupsi. Dugaan dan memang ada pemain yang melibatkan parpol pemenang pemilu. Hal yang lumrah terjadi dengan adanya kecurigaan ketika pemenang pemilu sebagai apa saja. Logis karena pemenang adalah penentu dalam banyak hal. Jadi sangat wajar dan bukan hal luar biasa.
Wajar lagi, ketika memang sudah banyak data, fakta, dan bukti bahwa memang di lingkaran politik dan parpol itu menjadi biang korupsi. Tidak akan cukup satu halaman untuk membeber kasus korupsi yang menyangkut elit partai.
Ketika ada desas-desus korupsi mulai dari Garuda kemudian merembet pada kekacauan manajemen Jiwa Sraya, dan kemudian juga ditengarai pada Asabri. Tentu bahwa kondisi bobrok dan akut itu bukan baru kemarin sore atau hanya tiba-tiba dalam periode Jokowi dan PDI-P memenangkan pemilu dan presiden tentunya. Naif jika berpikir sesimple itu.
Narasi yang dikembangkan karena yang diduga terlibat itu pernah masuk istana menjadi staf khusus. Dan yang terbaru KPU menerima suap dari kader PDI-P. Yo boleh dan wajar tudingan tersebut. Presiden dalam awal periode kedua menyatakan, tidak akan takut apapun, tidak akan ada lagi beban, bebas untuk melakukan apapun.
Jawaban dan bukti adalah Erick Thohir melakukan gebrakan yang sangat mencengangkan. Diikuti Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengambil alih aset Tomi Soeharto. Jangan anggap ini mulus dan tanpa perlawanan. Ini yang sangat menakutkan banyak elit negeri ini. Perlawanan para pelaku kejahatan masa lalu yang kini bisa tercekik karena kekeringan.
Penting penyelesaian kasus korupsi itu menyeluruh, kerja sama KPK dan Kejaksaan serta Kepolisian, mengeroyok, lintas lembaga malah menjadi sangat ekselen. Polisi menyerbu kejaksaan, kejaksaan menyerbu KPK, dan KPK menguntit kepolisan, dan mereka bersama-sama memerangi korupsi di semua lembaga yang ada.
Pernyataan pembelaan diri dari masing-masing pihak bisa menjadi pintu masuk untuk mencari tahu, ada apa kog teriak kenceng. Lihat bagaimana elit Demokrat mencari-cari dan membawa-bawa pada keberadaan PDI-P dan bahkan banyak yang menuding Jokowi segala. Pun sebaliknya juga akan ada, bagaimana banyak pula pihak yang menyatakan kerusakan sudah sejak lama.
Ya iya lah kerusakan itu tidak akan sekejap terjadi. Mana ada kerusakan tiba-tiba. Dan pernyataan yang salingg silang sebenarnya bisa menjadi sarana untuk mendapatkan kebenaran yang paling mendekati dasarnya. Mengapa? Karena pembelaan diri berlebihan itu jelas ada sesuatu. Dan layak ditelisik lebih jauh.
Mengapa selama ini seolah korupsi tidak selesai-selesai? Ya karena tidak diselesaikan secara menyeluruh. Berkutat pada diri paling benar dan pihak lain salah. Ujung-ujungnya mainkan politik baperisme atau politik korban. Paling konyol ketika melibatkan agama dan Tuhan.
Penyelesaian tidak menyeluruh, merasa diri paling bersih, dan lembaganya paling baik tidak menyelesaikan masalah. Bebersih ala apapun tidak akan bisa menyembuhkan penyakit paling payah ini. Memang utopis ketika berharap bersih dari korupsi. Apalagi elit negeri pun meyakini bahwa korupsi oli pembangunan. Realistis juga sih, meskipun sebagai pejabat bangsat juga sebenarnya.
Korupsi tidak cukup diselesaikan dengan hukum pidana. Pemiskinan dan hukuman mati, apapun risiko, pernyataan jelek, dan penolakan perlu menjadi prioritas. Darurat korupsi makin parah. Kekayaan negeri dicolong dengan seenaknya sendiri.