Ikut prihatin mendalam, ini soal kemanusiaan, bukan lagi politik, meskipun urusan politis cukup kental terasa. Pro dan kontra pada penanganan ala Anies berseliweran. Malah ada yang menggunakan keadaan banjir ini untuk mengungkit jargo Jokowi ketika kampanye 201 lampau, di mana Jokowi mengatakan akan mudah mengatasi banjir Jakarta kalau jadi presiden.
Pada posisi kontra Anies akan menuding Anies tidak becus, hanya mengandalkan kata dan wacana semata. Kemudian dinarasikan bagaimana Ahok bekerja keras dan melakukan ini dan itu, laporan banjir tahun kapan saja dan bagaimana air surut dalam waktu berapa lama. Sangat mungkin terjadi perang apalagi media sosial dan internet demikian memanjakan orang yang suka pro dan kontra ini.
Banjir ini fakta. Air mau menggenang, mau antri, mau banjir tidak jadi urusan. Pokoknya air berlebihan tidak pada tempatnya. Titik. Tidak juga bicara soal kepemimpinan si A, B, C, atau D, semua sudah melakukan dan hasilnya jelas kog. Mengapa harus dibicarakan terus. Penting adalah mau apa dengan kejadian ini?
Minimalisir dampak apalagi jika sampai adanya korban jiwa. Ini menjadi urgen dan sangat mendesak daripada hanya meributkan si A lebih baik daripada A' itu tidak berguna. Sama saja berbicara makan nasi goreng ekmarin enak, dan mau mengulang lagi ya tidak bisa wong sekarang adanya bakso.
Peringatan dini, ingat era modern, BMKG sangat modern. Pemanfaatan kemajuan zaman dengan TI sudah baik. Namun apakah seluruh lapisan masyarakat mengakses itu? inilah fungsi kepemimpinan dalam menjamin seluruh masyarakat sudah mempersiapkan keadaan yang tidak terduga, toh berdiskusi dengan Kompasianer pun merasa kaget. Hujan deras masih tenang-tenang saja, eh ternyata air masuk rumah.
Ini Kompasianer, tidak akan gagap informasi, pun masih terkena daya kejut. Akan berbeda jika ada seruan lewat birokrasi lurah RT/RW. Ini melengkapi yang ada dalam media sosial ataupun media arusutama. Belum tentu semua orang itu memperhatikan dan perhatian pada hal demikian.
Banjir itu sejatinya tidak tiba-tiba, berbeda dengan tsunami, gempa, atau kecelakaan. Ada indikasi yang bisa diperkirakan dengan baik, jika pemimpinnya cerdas. Lihat saja sekeliling, lagi-lagi RT-RW dan Lurah memegang peran penting bagaimana got, saluran air, kemudian kali dan sungai di sekitar masing-masing.
Dalam hari-hari ini mengalir atau tidak, ada sampah, apalagi kasur atau bambu dan kayu tidak. Ingat, perilaku membuang sampah itu dalam kadar melebihi kanker mengerikannya.
Saluran, jalan, mau sungai, kanal buatan, atau apapun namanya harus tetap ada. Sungai atau kanal itu sarana air mengantri menuju muara. Dari daerah tinggi menuju terendah, dari gunung ke laut. Itu kodrat air dan ilmu fisika juga menerangkan demikian. Nah ketika saluran resmi itu mampet, karena jadi rumah, banyak sampah, yo air melimpah ke mana-mana.
Sumur resapan juga tidak salah, karena menggantika n lahan terbuka yang kini berganti menjadi beton, aspal, gedung, dan cor untuk ini dan itu. sumur resapan menjadi penolong instan yang sangat mungkin. Menjadi sia-sia jika tidak ada pepohonan dan ruang terbuka hijau lainnya. air mau ke mana lagi?
Saluran atau kanal bisa menjadi solusi jangka panjang dan lebih rasional, karena air tetap akan menuju kawasan paling rendah. Apakah air laut tidak mau ke darat? Itulah fungsi otak manusia untuk memikirkan cara dan jelas sangat bisa. Apalagi posisi laut lebih rendah. Lihat saja Belanda dengan laut lebih tinggi saja bisa aman. Ini soal kemauan dan kemampuan.