Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Ucapan Natal Bukan Perkara Toleransi, Tetapi Lebih pada Pertimbangan "Politis"

Diperbarui: 9 Desember 2019   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ucapan Natal "Politis", Polisi Lebih Toleran daripada Kemenag?

Artikel ini kanal politik, bukan soal hits, namun memang bicara politis bukan soal budaya atau kemanusiaan. Mengapa?

Satu, hanya ada di sini, bahkan Arab saja tidak sedramatis di sini persoalan ucapan Natal, artinya itu berbicara politik, agenda politik bukan agama. Agama hanya menjadi alat atau labeling yang sangat seksi. Para pelaku juga memiliki kecenderungan berafiliasi pada pilihan ideologis yang berbeda, lagi-lagi soal politik bukan agama.

Lagi bicara politis, karena bukan soal aturan agama, dogma, atau aqidah yang menjadi ulasan. Ini soal kehendak yang cenderung politis. Nyatanya banyak pula tokoh agama yang biasa saja, tidak berlebihan ketika menyangkut soal ucapan ini.

Alasan lagi toh yang riuh rendah hanya ucapan Natal. Mana ribut soal Nyepi, Waisak atau yang lainnya. Artinya bukan soal agamanya, namun soal pengaruh dan dampak, itu kaitannya jelas politis.

Ketika seorang Kapolres mengatakan silakan polsek memasang ucapan Natal dan ada yang melakukan sweeping, akan kita selesaikan. Ini pun soal politis, benar bahwa itu soal keamanan dan ketertiban yang menjadi wewenang polisi. Namun apakah akan ada pernyataan seperti ini ketika peta politik tidak seperti hari-hari ini ? Lagi-lagi ini soal politis, bukan semata toleransi.

Itu beberapa alasan mengapa masuk kanal politik, bukan pada kanal budaya atau humaniora. Apakah  ucapan Natal ini sebuah keharusan dan akan berdampak pada keimanan atau keagamaan seseorang? Saya pribadi tidak, pun bagi penganut agama yang merayakan Natal. Ulasan ini berangkat dari sebuah komentar di media sosial saat saya membuat status kapolres meminta memasang ucapan Natal, kemenag kapan. Komentar di sana menyatakan, saya tetap merayakan Natal, santai saja, demikian kira-kira.

Jawaban saya adalah, ini bukan soal perayaan atau ucapan, namun soal bagaimana toleransi itu malah diabagikan oleh Kemenag yang sejatinya adalah panglima dalam bersikap toleran. Polisi justru menjadi pendukung ketika ada aksi kekerasan, pemaksaan kehendak, atau merusak spanduk misalnya.

Menjadi aneh dan lucu, ketika polisi menyatakan pasang ucapan, dan ketika ada sweeping akan mendapatkan tindakan tegas. Itu adalah tugas Kemenag dengan mengatakan kami memasang ucapan selamat Natal dan tolong polisi kawal jika ada apa-apa tindak dengan tegas. Itu yang saya maksudkan.

Miris, lihat saja kantor-kantor kemenag  pernah tidak melihat ada ucapan, baik Natal, Galungan, Imlek, Waisak, atau Nyepi, atau hari raya lainnya.  Artinya apa? mereka abai, pada hal yang sangat sederhana, kecil, dan sejatinya bisa melakukan. Beaya tidak mahal kog, ini soal kemauan. Jika tidak mau keluar, minta saja pada sponsor, salah satu toko di kawasan itu pasti mau membuatkan. Ini soal kehendak baik.

Berdekatan dengan itu adalah pelarangan sebuah acara budaya dan agama di sebuah kawasan, oleh lagi-lagi orang atau kelompok yang itu lagi itu lagi. Dan lagi-lagi kemenag diam sejuta bahasa. Tidak ada pernyataan secara publik permohonan maaf, seolah mereka tidak ada nyali untuk mengutuk apalagi membekukan kelompok model ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline