"Waskita" Jokowi untuk Cangkul Impor dan Desa Siluman
Cukup menarik dan sangat berbeda tampilan Jokowi secara politis kali ini. Langsung menyatakan apa yang memang harus dinyatakan, tidak lagi seperti yang lampau. Memang masih menggunakan sebuah kamuflase, karena toh rival politik itu bisa siapa saja dan kapan saja. Ini tetap diperhitungkan.
Dalam beberapa waktu, banyak grup pembicaraan membagikan postingan mengenai pembicaraan dalam Kongres Kebudayaan tahun 1918, di mana orang Jawa dikatakan banyak dan suka kebohongan. Oleh Van Lith, pastor misionaris Jesuit diluruskan. Orang Jawa bukannya suka berbohong, namun diajarkan jangan menyakiti orang.
Berbeda dengan didikan Barat yang menekankan kejujuran dan mengatakan apa adanya. Mengatakan apa yang terjadi dengan lugas memang sudah ditekankan sebagai pendidikan sejak dini bagi masyarakat Barat.
Nah konteks itu yang dipakai sebagai penilaian atas budaya Jawa. Rama Van Lith melihat itu tidak demikian. Padahal kadang orang Jawa sendiri, atau kepentingan Belanda untuk mengadu domba dan bersikap saling curiga juga berperan dalam konteks ini.
Jokowi sebagai orang Jawa ternyata masih juga memegang hal tersebut. Jangan menyakiti orang, Van Lith mengambil contoh bau keringat. Orang Barat akan mengatakan kamu jangan dekat-dekat saya, bau badanmu. Orang Jawa akan mengatakan, coba minum ramuan kencur biar badanmu segar.
Faktanya sama soal bau badan, cara penyampaiannya bertolak belakang. Namun Van Lith juga mengatakan, dengan bahasa yang halus, dan tidak vulgar orang sangat mungkin menerima masukan dan berubah. Lihat orang Barat yang banyak belajar mendalam soal Jawa melihat dengan kerangka pikir yang lebih luas.
Mengapa Desa Siluman, Bukan Anggaran Jakarta?
Kebanyakan orang akan menantikan bagaimana Jokowi berkomentar soal ugal-ugalan anggaran Jakarta. Dan Jokowi tidak mengatakan itu, namun mengambil desa siluman. Apakah presiden tidak tahu ada anggaran demikian ngaco dan tahu desa fiktif baru saja? Tentu tidak. Dan dengan mengambil momen yang tepat sangat mungkin sekali tepuk dua lalat mencelat.
Lihat saja resistensi Anies dan pendukungnya, jika Jokowi menohok Jakarta, kondisi politik yang sedang dibangun untuk adem bisa bergolak lagi. Penolakan dan pembelaan diri berlebihan saja sudah memperlihatkan ada apa-apa. Mosok presiden yang dari Solo juga mau ikut ngantemi, jelas tidak.
Desa siluman dengan anggaran siluman apa bedanya coba? Sama-sama anggaran negara digarong demi kepentingan segelintir orang. Itu sama namun dampak politisnya jauh berbeda. Para pelaku di Jakarta itu elit yang sekian lama biasa menggarong cukup kelaparan kala kemarin ada gaya baru. Nah ketika mendapat asupan lagi dan disikat, kemarahan itu bisa berbahaya. Perlu sikap yang cerdik.