Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Cadar dan Cingkrang, Pentingnya bagi Menteri Agama

Diperbarui: 1 November 2019   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup menarik gebrakan Menteri Agama ini, bagaimana tidak ketika belum sebulan sudah membuat gerakan kuat, signifikan, dan membuat kalang kabut pihak yang selama ini di atas angin dan bisa mendiktekan narasi yang ada. Mau logis atau tidak bukan pertimbangan penting, yang utama bisa melemahkan pihak yang menjadi hambatan atau potensial menjadi halangan.

Dalam sebuah pemberitaan, Menag mnegur pejabat BUMN yang mengenakan celana cingkrang, tidak mau hormat bendera dan menyanyikan lagi kebangsaan. Langsung saja terkena teguran keras dan kalau tidak mau ikut aturan silakan keluar. Sama juga dengan cadar yang dikenakan.

Keuntungan Menteri Agama Fahrul Rozi adalah seorang jenderal sekaligus pemuka agama. Bayangkan jika ia bukan jenderal. Misalnya saja Imam Besar Masjid Istiqlal yang menjadi Menag, apa tidak kasihan, kyai halus begitu harus dimaki-maki para penganut paham yang terkena dampak. Atau bayangkan saja menteri itu bukan jenderal, pasti akan takut menyelesaikan cara berpakaian ini saja.

Lha emang penting hanya cara berpakaian dan penampilan saja?

Ingat, bangsa ini masih suka dan bangga pada label. Lihat koruptor yang tiba-tiba agamis, dengan baju dan kata-kata menyitir kata suci langsung menuai simpati.

Pun, artis yang sedang menuai masalah, paling gampang tiba-tiba tampil dengan pakaian khas keagamaan dan dukungan mengalir. Padahal sama sekali juga tidak menyentuh esensi kemanusiaan dan keimanannya. Yang penting penampilan.

Jauh lebih miris jika itu sebentuk simbol pemisahan, sparasi, dan pengotakan antara yang religius, agamis, dengan yang sekuler atau bahkan kafir, di kantor dan bahkan sekolah. Ini jelas lebih berbahaya, dan itu sangat mungkin. Gambaran perusahaan atau BUMN itu adalah sudah  hijrah, dan itu kafir hanya karena pakaian.

Lebih miris adalah ketika sekolah pun sudah demikian. Identitas sangat personal agama namun menjadi    konsumsi publik karena pakaian. Jika hanya  tahu agama tanpa dampak masih bisa ditoleransi. Lha ketika dengan pakaian kemudian merembet  pada sikap, penilaian, dan malah juga perselisihan antara murid dengan guru, murid dengan murid, apalagi jika guru dengan guru, atau tenaga kependidikan lainnya.

Sangat mungkin obyektivitas penilaian sangat terpengaruh dengan cara berpakaian, dan itu jarang diekspose karena enggan, malas, takut, atau dianggap toh tidak penting juga.  Bukan tidak mungkin ada sikap yang demikian. Kan menakutkan bagi kehidupan berbangsa.

Mirisnya adalah, perilaku ugal-ugalan dalam banyak hal tidak berdampak linier. Bicara, cara berpakaian, dan cara bertutur kata, pilihan kalimat selalu dikaitkan dengan agama, ayat suci bahkan, atau bahasa khusus keagamaan, namun korupsi masih merajalela. Bolehlah ketika soal korupsi bukan memandang agama atau label lainnya.

Minimal lebih disiplin, perilaku lebih baik, lha bicara surga tetapi datang terlambat, malas-malasan, masih memaksakan kehendak. Coba bayangkan saja jika kinerja bagus, prestasi luar biasa, mau cingkrang, mau cadar, nampaknya tidak akan menjadi masalah dan orang jadi enggan, lha tidak ada yang salah dengan penampilannya kog.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline