Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

"Isolasi" Jokowi, Mendekati Pusatnya

Diperbarui: 7 Oktober 2019   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isolasi Jokowi, Mendekati Pusatnya

Siapa sih yang tidak paham politik bangsa ini yang cenderung elitis, feodalistik, dan hanya segelintir pihak yang bisa ada di pusat dan puncak sana. Partai politik sangat sarat dengan muatan itu. Militer, birorkrat, dan penguasa level nasional dan internasional yang bisa mencapai kekuasaan itu.

Demokrasi yang  menjamin kebebasan pun susah payah untuk berdiri. Sandera menyandera terjadi. demi kekuasaan bisa "digilir' di antara mereka. Satu pihak suka akan jenderal, pihak lain seneng penguasa kaya raya yang menjadi pemimpin, demi amannya logistik dalam banyak hal. 

Ada pula yang memilih untuk memberikan keyakinan pimpinan itu kalau hasil trah, atau keturunan. Mirip-mirip dengan kerajaan begitu. Dan itu masih kuat.

Reformasi yang hampir seperempat abad belum memberikan dampak yang signifikan. Ketika presiden bukan militer, keadaan stabilitas keamanan relatif stabil. Ingat ini bukan mengatakan militer yang mengacau keadaan. Tidak sama sekali. 

Namun bukan menjadi bagian pembicaraan artikel ini.  Gonjang-ganjing apapun dilakukan demi keadaan politik tidak bisa tenang. Isu ataupun fakta yang diputarbalikkan menjadi sebuah gaya berpolitik ual-ugalan.

Lebih parah ketika ada sosok Jokowi yang tiba-tiba saja merangsek naik pada tataran elit, bukan orang elit partai politik, bukan pula anak penggede negeri, tidak berasal dari kalangan pengusaha kelas kakap dan level internasional. Ternyata membawa banyak dampak dan cara bersikap elit.

Partai Politik dan Elit

Suka atau tidak, rela atau berat hati, parpol toh terjadi daan dibangun oleh "dinasti", atau "kepemilikan" pribadi-pribadi, beberapa memang sudah mulai demokratis, siapapun boleh  menjadi penguasa atau ketua apapun istilahnya. Namun tidak bisa begitu naif mengatakan sudah membiarkan kualitas dan prestasi yang menjadi jaminan untuk bekerja dan memimpin.

Kecenderungan trah, nama besar, dan kekuatan finansial menjadi penentu. Lihat Golkar yang sudah lebih demokratis, siapa saja menjadi ketua umum, toh cenderung pengusaha kelas kakap yang silih berganti memegang kendali. Partai lain masih cenderung keturunan atau darah. Ini fakta.

Parpol malas dan  enggan kerja cerdas memilih orang populer untuk diusung menjadi celeg atau cabup-cagub. Nama-nama yang bagi elit bukan siapa-siapa, namun mengantar pada kekuasaan. Mereka kaget ketika si bukan siapa-siapa malah mencapai kedudukan presiden.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline