Membaca 94,7% ASN Menolak Ibukota Baru dan Narasi Sejenis
Keputusan pemindahan ibukota telah ditetapkan. Lokasi baru telah ada, yaitu di Kalimantan Timur. Cukup riuh rendah mengenai perpindahan ibukota ini. Namun cenderung sama dengan kubu pilpres, minus Prabowo malah yang terdengar.
Cenderung hanya soal eksistensi diri dan biar kelihatan kritis. Cenderung asal berbeda, apa yang dikemukan sebagai alasan pun lemah, mudah dipatahkan, dan kadang sama sekali tidak mendasar, asal-asalan saja. Pokok pilihan pemerintah harus ditolak.
Aneh dan lucu, Prabowo sebagai pemimpin "oposisi" baik-baik saja mendukung penuh keputusan itu, bahkan konon tanah yang ada dalam hak gunanya dikembalikan bagi kepentingan bangsa dan negara. Nah jika demikian, apa lagi yang diperjuangkan oleh kelompok yang menolak dengan dalih lemah ini?
Salah satu yang cukup dominan adalah ASN, dengan angka mendekati sempurna menolak. Sangat bisa dimengerti posisi mereka. Dalam survey orang cenderung bermain-main, tidak serius, dan asal-asalan itu mungkin. Toh yang demikian tidak akan tinggi-tinggi amat. Jadi cukup bisa diprediksikan angka ini sangat besar.
Menilik angka survey internal TKN pilpres kemarin, ASN yang memilih Jokowi hanya kisaran 28-an% kog senada dan linier dengan pilihan pemindahan ibukota. Mengapa demikian?
Selama ini, ASN itu jaminan hidup yang paling enak, kerja tidak kerja, pemecatan susah. Gaji jelas bahkan 14 kali per tahun. Remunerasi dan sertifikasi menjadi tambahan keenakan. Kinerja tahu sama tahulah seperti apa. jika dulu catur, pingpong dan baca koran, sekaran ya medsosan atau main games.
Kenaikan pangkat berbasis kinerja seolah tidak ada, permainan dan perputaran uang jauh lebih cenderung menjadi punggawa. Nah dengan pembenahan demi pembenahan, mereka tentu yang paling susah mengikuti pola pemerintahan yang makin baik ini.
Dua reaksi yang sangat bisa dimaklumi, jika pemerintah membuat mereka mati gaya. Persoalan pemindahan ibukota memang akan menyulitkan banyak hal bagi ASN, baik yang benar-benar kesulitan, ataupun hanya karena permasalahan kebiasaan dan perubahan sikap dan kultur saja.
Amien Rais yang menolak dengan dalih Jokowi kemaruk, juga lemah dalam argumen. Hanya mengaitkan keadaan Papua yang sangat jauh dari persoalan keberadaan pemindahan ibukota. Mengaitkan dua hal yang sama sekali tidak saling berkaitan erat, toh lembaga-lembaga terkait masing-masing sudah melakukan tugasnya. Kembali argumennya lemah, bahkan maaf cenderung asal-asalan, tanpa dasar menolak.
Narasi sejenis adalah soal utang negara dan soal pembiayaan. Hal yang sangat mudah dipatahkan oleh menteri-menteri terkait. Pendanaan sudah ada skema yang sangat ringan. Bandingkan dengan apa yang pemerintah daerah ibukota lama minta, jauh lebih besar malah. Lagi-lagi tidak cukup beralasan bukan?