Abdul Somad sudah menyatakan tidak perlu minta maaf karena alasan dogmatis, dan itu tidak bisa diganggu gugat. Toh Kwi melalui Mgr Suharyo juga sudah menyatakan sikap resmi tidak perlu diperpanjang, tidak perlu ditanggapi, dan tetap tenang. Setuju.
Rm Benny, demikian rekan Kompasianer menceritakan, jika tidak mau minta maaf yo wis, ya sudah. Kelihatannya Benny Susetyo yang menyatakan itu.
Dan secara umum juga sama kog, tidak ada yang meminta Somad menyatakan permintaan maaf. Paus dalam konteks yang berbeda pun nada sama, kerendahan hati tidak ada tanpa penghinaan. Sejalan bukan? Dan bukan masalah.
Tentu ini bukan permohonan untuk menyembah kaii orang Kristen sebagaimana komentar Kompasianer beberapa waktu lalu. Hanya mau mengatakan pola pikir yang ada, reaksi, dan tanggapan yang ada. Dan itu pun sudah dibuktikan oleh waktu kog.
Beberapa tanggapan bagus menjadi referensi Kompasianer dan pembaca.
Muhamadiyah, salah seorang pengurusnya mengatakan, bahwa pada tahun 69, ketua umum Muhamadiyah diundang Akademi Katolik, kelihatannya yang mau dikatakan adalah Akademi Kateketik,, sekarang Stikat di Kota Baru Jogyakarta.
Beliau diundang dan hadir kemudian berterima kasih serta memberikan kuliah umum, mengenai konsep Ketuhanan yang beliau yakini dan imani. Relasi baik-baik saja, dan tetap berjalan dengan iman masing-masing.
Tanpa harus menjelek-jelekan dan juga tidak melebih-lebihkan apa yang beliau yakini, itu kunci yang mau dikatakan, menurut sepehaman saya.
Sama juga kita suka nasi goreng kan tidak lucu mencela bakso dan peminat bakso. Benar bahwa agama bukan sekadar makanan, jangan malah nanti ribut nasgor dan bakso, ini sebatas ilustrasi.
Buya Syafii. Salah satu negarawan, ulama, tokoh agama, pernah menjadi ketua PP Muhamadiyah, beliau mengatakan kita lupa sila kelima Pancasila.
Tidak berpanjang lebar, tidak memasuki ranah dogma, ataupun ceramah. Namun menyoal kebangsaan. Bagaimana hidup di alam Indonesia, alam plural, yang berarti bahwa itu harus mengedepankan tepa slira.