Cukup mencengangkan apa yang Prabowo ungkapkan usai layat telat, menjawab insan pers ia mengatakan dukungan moral bagi Pak SBY dan mengenai Ibu Ani dan keluarga. Satu yang disayangkan langsung oleh Pak Beye, adalah ungkapan kalau almarhum memilih Prabowo dalam dua periode pilpres.
Reaksi langsung Pak Beye jelas wajar, bagus, dan penting. Ini soal Prabowo yang memang tidak bisa mengerem apa yang ada di dalam otaknya langsung saja los, dol tanpa kendali, di mana ketika apa yang ada dalam benaknya semua dikatakan, mau menyinggung, pantas atau tidak, ya dikatakan. Miris sebenarnya.
Sangat tidak elok jika mengaitkan soal melayat ini dengan politik, namun toh sangat kentara bagaimana kubu Jokowi mendapatkan banyak point dan simpati, dibandingkan Prabowo dan kawan-kawan. Ini hanya salah satu hal semata. Hal lainnya pun demikian.
Usai pemilu, politik senyap dilakukan Jokowi dengan jajaran dengan sangat lihai, jangan konotasikan senyap ini denga meleyapkan rival diam-diam, namun politik diplomasi yang sangat berkelas terus dilakukan. Satu demi satu kekuatan rival yang ugal-ugalan dipatahkan, bukan dengan kekerasan, pemaksaan, dan juga perilaku politik tidak elok lainnya. kehadiran para rival di pilpres lalu jelas kekuatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Tudingan demi tudingan yang sangat keras, kasar, dan cenderung arogan dijawab dengan baik dan relatif tepat, sehingga tidak menimbulkan kisruh yang berkepanjangan. Ada anggapan pemenang serasa kelompok kalah, namun demi negeri, pilihan itu bagus dan penting. Kekerasan tidak dihadapi dengan cara yang sama.
Reaksi juga terukur, tidak semua hal lantas dijawab sehingga menjadi polemik, namun konteks-konteks tertentu Jokowi juga menjawab. Contoh mengenai tudingan pemilu paling buruk dan MK majelis kalkulator, reaksinya juga hanya normatif, jangan suka merendahkan lembaga negara. Tidak berkepanjangan.
Penanganan ujaran kebencian, makar, dan perilaku buruk ekses pemilu pun relatif senyap. Satu demi satu diurus dan aneka reaksi yang ada, ada yang mengungsi ke luar negeri, berkilah dan memuji polisi, dan juga ada yang diam seribu bahasa di balik bui. Itu bukan orang sembarangan lagi.
Mengenai dana di Bank Swis termasuk dugaan kekayaan Cendana yang melalui proses panjang pun diam-diam saja melakukannya. Jalan sunyi ditempuh tidak perlu riuh rendah dan pada saatnya bisa terjadi kerjasama yang baik dengan otoritas di Swis. Bayangkan saja jika pemimpin banyak omong, apa yang akan terjadi? Belum tentu ada hasilnya.
Politik ugal-ugalan Prabowo. Sejak lama perilaku ugal-ugalan Prabowo ini dilakukan. Apalagi selama masa kampanye. Usai pilpres pun kubu mereka jauh lebih ugal-ugalan, bagaimana tidak, menuding MK sebagai majelis kalkulator, jalur MK adalah sia-sia, people power, pp enteng-entengan, kecurangan, pemilu paling buruk sepanjang sejarah republik, dan sebagainya dan sebagainya.
Hal-hal itu merupakan sebuah upaya tidak menerima kekalahan semata. Logika singkat saja, ke mana klaim 55% menjadi 62% kog hilang menguap dan hanya 44%? Karena toh mereka juga tidak melakukan apa-apa selama kampanye, selain ugal-ugalan mencela pemerintah. Jaminan untuk dipilih nol besar.
Dugaan ide referendum pun berhembus, eh kog tokoh-tokohnya masih sajaberkelindan dengan yang sama. Lagi-lagi hanya upaya untuk meraup kekuasaan. Berkaitan dengan pihak lain sangat mungkin, toh bukan bagian artikel ini. Namun bahwa mereka memilih politik riuh rendah, ramai, dan heboh, namun sunyi dari esensi.