Jokowi Mengalah Saja, Lha Pemilu Atau Lomba balita Sehat?
Awalnya enggan nulis ini, sangat kekanak-kanakan, apalagi Kompasianer dalam salah satu komentar lebih lagi bayi-nya. Namun karena ada seorang tokoh agama daerah juga mengatakan yang sama, perlu dan layak dibahas dalam sebuah artikel.
Beberapa hal yang perlu direnungkan bersama, mengenai dalih kalau Pak Jokowi harus mengalah dulu;
Seperti Bung Karno yang memikirkan bangsa dan negara sehingga mengalah untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan pada Soeharto. Toh benaran mengalah atau ditekan dengan berbagai cara bukan bagian ulasan ini. Alasan yang dikemukan adalah itu.
Pak Harto yang mengalah demi agar tidak lebih banyak korban dan menyerahkannya kepada Pak Habibie. Pun masih bisa menjadi perdebatan, namun lagi-lagi bukan bagian artikel ini. Ini alasan yang dijadikan landasan untuk Pak Jokowi mengalah.
Gus Dur menyerahkan kepada MPR demi bangsa ini. Okelah itu sangat mungkin demikian adanya, walaupun ada pula unsur manipulatif dari MPR saat itu, namun lagi-lagi bukan bagian ulasan artikel ini. Namun menjadi dalih dari para pengusung istilah mengalah.
Ketika kejadian itu semua berkaitan dengan alih kekuasaan dalam kondisi luar biasa. Adanya tekanan massa, tekanan politik, dan juga tekanan kondisi untuk adanya perubahan. Perubahan yang mendesak saking lamanya pemerintahan, berbeda dengan almarhum Gus Dur, kedua pemimpin itu puluhan tahun.
Tekanan berbagai pihak bisa menimbulkan persoalan berkepanjangan, disintegrasi, dan perselisihan serta korbannya rakyat yang tidak bersalah. Sangat mungkin dan bisa dimengerti dan dipahami jika demikian. Demi bangsa dan negara. Ada keprihatinan besar dan demi kepentingan umum.
Lucu dan aneh ketika demokrasi yang terjadi, pemilu dengan suara terbanyak dengan adanya satu pemilih satu suara. Rakyat sudah memutuskan, pemilih menetapkan bahwa Jokowi-KHMA yang rakyat percayai, bukan kubu lainnya. Bisa saja Jokowi-KHMA mengalah, namun yakin 85 juta pemilih, 55 koma sekian prosen tidak meradang dan mengamuk kembali. Yakin bisa selesai dan tidak lagi berkepanjangan?
Nalar yang tidak cukup bisa diterima dengan akal sehat sebenarnya, mengalah kog usai pemilihan dan kemungkinan besar akan kalah. Lucu dan saru bahkan demi tidak ngambeg, si pemenang diminta mengalah. Kalau memang takut berkompetesi jangan mengatakan rival yang menang untuk mengalah. Itu hanya untuk anak kecil yang merengek kalau tidak menang.
Mengapa nasihat untuk menerima kenyataan tidak lebih bergaung, termasuk ulama daerah itu? hal yang cukup aneh sebenarnya. Juga bekas menteri yang masuk barisan sakit hati. Mengapa tidak menasihati diri untuk legawa bahwa ia memang tidak bisa bekerja kog. Malah meminta presiden terpilih mengalah. Mengalah dari Hongkong?