Terima Kasih Ahok dan Kebangkitan Nasional
Kebangkitan Nasional tahun ini serasa benar bahwa bangkit dan nasionalis baru. Seolah tidur sekian lama, di dalam alam yang jauh dari semangat nasionalisme ala Boedi Oetomo itu. Bertahun didera kegamangan dan akhirnya malah kecemasan karena eforia yang kelewatan dan atas nama demokrasi namun merusak.
Usai dalam balutan otoritarianisme puluhan tahun, dalam beberapa tahun hidup dalam kebebasan yang tidak terkendali. Menang-menangan dalam banyak kasus, merasa diri lebih dari yang lain, dan jati diri bangsa bahkan Pancasila hampir saja tersandera dan tergadai.
Arogansi sepihak, bahkan kemudian banjir hoax dan fitnahan menjadi sebuah aksi yang sangat biasa. Salah dan kalah ngotot, nyolot, dan melakukan persekusi sepihak sempat marak. Kebebasan beragama hampir saja hilang karena dominasi sebuah kelompok yang melabeli diri agama dan selalu menggelorakan agama, apapun alasannya agama ujungnya.
Politik pecah belah, politik adu domba, politik fitnah, dan politik label demikian masif. Seolah dunia indah damai yang bernama Indonesia runtuh tak berbekas. Penyelesaian dengan dalih menistakan suatu agama seolah momok yang mengancam keberagaman bangsa plural ini. Pemaksaan kehendak, tudingan beda sebagai salah, seolah menjadi menu harian.
Baru beberapa tahun terakhir, Ramadan tanpa khawatir sweeping ormas. Semua berjalan dengan semestinya, tidak ada kecemasan dan pemaksaan kehendak oleh sekelompok orang. Kembali ke era dulu-dulu, di mana Bumi Bhineka Tunggal Ika benar-benar tegak berdiri. Semua berdampingan dengan damai dan tanpa gesekan berlebihan.
Entah mengapa, beberapa dekade belakangan, apalagi usai yang katanya reformasi, malah seperti neraka saja. Sikap saling curiga, pemaksaan kehendak. Penyeragaman dengan pemaksaan, beda sama dengan salah dan kafir. Itu bukan bicara agama, namun perilaku sekelompok orang beragama. Dan itu sekian lama seolah akan menguasai negeri ini.
Setiap ada peringatan, memberikan pengertian, dan hendak meluruskan malah dicap kafir, sesat, menistakan agama. Itu sekelah Quraish Shihab saja dilabeli demikian, apalagi kalau orang biasa, apa tidak langsung disabet dengan pedang yang sempat dibawa ke mana-mana tanpa ada yang berani melarang.
Menutup jalan atas nama ibadah atau kegiatan keagamaan menjadi biasa. Melarang melintas karena sedang ada kegiatan kegamaan. Izin belakangan dan yang penting ada seragam tertentu semua bisa terlaksana. Mau orang susah dan menjadi bingung tidak menjadi pertimbangan.
Untung ada lambe Ahok yang lemes dan menyitir sebuah ayat suci dan menjadi berabe dalam banyak hal. Negara pun sempat panas dengan demo berjilid-jilid. Demi penista agama untuk masuk penjara. Syukur bahwa akhirnya itu selesai dengan baik karena sikap bertanggung jawab si Ahok alias BTP.
Dari sana, pilkada DKI terimbas banyak. Ujungnya juga karena politik sektarian dan identitas yang berawal dari kata-kata Ahok. Apakah sepeuhnya salah? Toh banyak yang menyatakan tidak demikian. Namun bukan itu inti kupasan ini. Ahok sudah menjadi BTP dan selesai semua. Masa lalu.