Cukup menarik apa yang dinyatakan oleh puteri mendiang Presiden Soeharto, bertepatan dengan 21 tahun runtuhnya dinasti Cendana. Ia mengatakan pemerintahan Jokowi mengadakan pemilu penuh kecurangan. Pemilu yang abai akan dasar demokrasi yaitu, kejujuran dan keadilan. Mengapa menarik?
Berbicara kecurangan pemilu dan menglaim pemilu era Soeharto lebih baik. Akhir kejayaan Soeharto, 97-an suara-suara penolakan makin kuat. Keberanian bersikap mulai makin keras berhembus. Internet yang masih jarang dan mahal menjadi media untuk tahu isu-isu seputar 65 dan aksi antipemerintah.
Pemilu 97 yang mengantar kemenangan gilang gemilang Golkar untuk Soeharto sudah mulai diganggu keberadaan Mega dan ada Sribintang Pamungkas, Mega-Bintang sudah membayangi. Mengangkat kroni dan bahkan ada Tutut di sana, membuat kejengkelan dan kemarahan massa tidak bisa dibendung. Mahasiswa menjadi pionir, garda terdepan untuk mendesak yang awalnya mundurnya beberapa anggota kabinet yang tidak kompeten dan menggambarkan KKN yang amat parah.
Perkembangan malah makin menjadi dengan desakan mundurnya presiden Soeharto. Apalagi dikatakan sebagai jawaban dengan arogan, ra dadi presiden ra patheken. Dan akhirnya tumbang juga penguasa tunggal yang begitu kuatnya itu.
Berbicara kejujuran ala Titik, bagaimana bisa sampai ada anggapan, koran itu hanya dua yang bisa dipercaya, berita film, iklan bioskop dulu dengan menggunakan koran dan pasti tidak akan meleset. Jelas mana ada iklan meleset, malah sekarang bisa meleset.
Kebenaran kedua itu berita duka atau kematian. Juga tidak mungkin berita kematian kog bohong atau tidak ada. Lha berita olah raga saja harus sesuai dengan kehendak sang penguasa kog. Misalnya kalah telak, jangan sampai ditonjolkan, apalgi sampai mencaci dan mengolok-olok.
Pemilu memang benar pesta rakyat, tidak ada ketakutan dan kecemasan, paling tidak yang saya sudah paham dari 1982 hingga 1997, paling menyeramkan hanya 1997, memang kondisi damai, bahagia, namun semu. Bagaimana tidak semu. Ketika calon semua atas titah atau sepengetahuan Bina Graha.
Nomor sepau bagi pileg artinya nomor bawah, jangan harap bisa merasakan menjadi anggota dewan. Nomor kecil itu pasti petinggi partai, bekas menteri, bekas duta besar, bekas panglima kodam, bekas kapolda, yang setia pada Soeharto. Ini kubu Golkar.
PPP sebagai penggembira pasti akan menjadi juara dua. Dan PDI akan menjadi paling buncit. Mana ada KPU-KPU-an segala. Tanpa kecurangan wong pemilunya tidak dilakukan semestinya. Semua petugas KPPS itu PNS, yang jelas akan loyal tunggal pada Soeharto dengan ABG-nya. ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Ada Fraksi ABRI di sana. Artinya sudah ada dua fraksi yang sejalur dalam pemilihan presiden itu. Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI sama juga satu nafas dua nama.
Jaminan tidak akan berjalan karirnya bagi PNS dan militer atau polisi yang ketahuan anaknya berani berucap lain dari kebijakan pemerintah. Lahirlah petisi 50 dan para anggota petisi 50 itu susah bergerak dalam banyak hal. Hidupnya pun demikian.
Jutaan warga terkena dampak G-30 S dan PKI yang bahkan Jokowi pun kena imbasnya. Madem Titik mana tahu yang begituan. Ada calon perwira yang mau dilantik disuruh pulang karena ternyata keluarganya tidak bersih lingkungan. Apakah ada kejujuran dan keadilan dari mereka semua? Benarkah semua terutama orang tuanya itu aktivis atau simpatisan PKI? Pembuktiannya apa? Hanya karena katanya si A, katanya si B, dan masa depan tujuh turunan tamat.