Jokowi, Presiden Beneran dan Presiden Klaim Semata serta Pilihannya
Sebulan lalu, usai pemilu dan hitung cepat mulai rilis, gubernur Sumbar mengatakan, siapapun presidennya jangan anak tirikan daerah yang tidak memberikan suara dominan. Waktu ada pernyaataan itu tidak begitu perhatikan.
Hal yang lumrah ketika potensi presiden yang akan memenangkan pemilu bukan mayoritas dari daerahnya. Dukungan kepala daerah 12 banding tujuh memang seolah akan mudah. Faktanya tidak demikian.
Pemikiran kepala daerah adalah kucuran dana pusat untuk pembangunan. Lima tahun yang sudah terjadi dan potensi itu bisa kritis jika tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.
Sejak awal prediksi Jokowi tetap akan menang, membuat enggan memperhatikan hal tersebut. Namun jadi ingat ketika Prabowo, menyatakan para media hati-hati, kami mencatat kelakuan kalian satu-satu. Kami bukan kambing yag bisa kau atur-atur. Hati-hati kau yah. Hati-hati. Ini kepada wartawan yang ia nilai sering memelintir ucapannya.
Jadi ingat, dulu tahun 90-an desa saya mengadakan pilkades. Masih para calon berada pada panggung di lapangan, dan seluruh desa memilih di hadapan para calon. Kandidatnya bagus-bagus, asli memilih yang terbaik dan yang baik-baik. Ada kyai belum haji, bagus, kharismatis, ada pula guru muda juga bagus, ada pula pegawai kabupaten, dan purnawirawan. Bagus-bagus.
Nah pak kyai almarhum ini bersaing ketat dengan guru muda yang juga almarhum kini. Suara selisih sangat tipis. Si guru muda jadi, namun rumahnya itu pada sisi timur paling jauh dari desa. Jalan terjal, kalau hujan becek, jauh lagi. Jalan aspal dan beton belum seperti saat ini.
Carik yang ada pada posisi tengah sering menjadi jalan tengah kalau butuh ini dan itu. nah jawaban si carik ini cukup identik dengan apa yang terjadi dan menjadi kupasan ini, makanya diberi tawaran kades dekat gak mau, sana ke lurahmu yang jauh itu. Dan benar-benar tidak mau memberikan surat yang diperlukan, cukup lama juga perang dingin itu terjadi di tengah warga.
Apa yang disampaikan gubernur Sumbar itu semakin akan menjadi nyata, ketika suara mereka sangat tinggi justru untuk yang calon kemungkinan kalah. Padahal pembangunan yang cukup masif era lampau belum usai dengan semestinya.
Sangat wajar ketika gubernur "khawatir, takut, dan cemas" kalau-kalau Jokowi menang nasional, dan di daerahnya kalah dihentikan. Jelas kekhawatiran itu tidak jika yang menang Prabowo.
Toh ada juga kecemasan kalau Prabowo yang menang, 12 kepala daerah yang dulu menyatakan dukungan, bisa kena sikat seperti wartawan. Simalakama juga bagi gubernur. Serba ribet apa yang terjadi.