Politik sering dimaknai kekuasaan semata. Jika demikian yang menjadi pemikiran, cara atau prosesnya tidak akan menjadi pertimbangan. Menjelek-jelekan kubu lawan, mendistorsi apa yang baik pada lawan, pokonya lawannya sangat buruk, tanpa fakta dan data. Mudahnya demikian. Belum tentu juga dengan mengunggulkan jagoannya. Pokoknya lawan adalah buruk.
Beberapa pihak bisa saja menjadi pelaku dan penyebar kampanye model demikian. Pertama, kelompok yang posisi lemah, dengan demikian, hendak mengangkat potensi namun tidak berdaya. Upaya paling murah dan mudah adalah menegasi prestasi lawan. Sangat mudah bisa kita temukan fakta demikian.
Kedua, pihak yang tidak menghendaki adanya pemilu damai. Ini bisa siapa saja, dan siapa yang mendapatkan keuntungan, itu yang patut dicurigai keterlibatannya. Ingat konteks bangsa ini, bangsa yang demikian besar dan kaya raya. Siapa yang tidak pengin. Nah di sanalah bisa ada kelompok yang ingin mengambil keuntungan. Apalagi hanya dua kubu yang telah terpolarisasi dengan amat ekstrem seperti ini.
Ketiga, kelompok penguasa yang hendak memainkan politik korban. Ini bisa saja dan mungkin terjadi demikian. mengapa? Kembali kepada awal paragraf, ketika politik semata-mata mengejar kekuasaan. Dalam konteks ini sangat bisa diterima nalar sehat.
Kelompok atau sel yang terputus dari jaringan resmi baik BPN atau TKN. Di sana, jaringan resmi atau badan atau tim bisa mengatakan itu bukan jaringan resmi kami. Lihat di KPU semua nama dan lembaga telah terdaftar, ketika tertangkap Bawas atau kepolisian. Di sinilah peran rekam jejak dan pengalaman membuktikan.
Dulu, ketika ada Obor Rakyat, toh penolakan, tidak termasuk dalam badan pemenangan resmi. Namun lima tahun kemudian, toh pengakuan sedikit demi sedikit dan akhirnya bagian utuh dan utama di sana pun mengaku kalau mereka tahu, namun memang bukan badan atau lembaga resmi. Berarti sedikit banyak ada kecurigaan bahwa siapa yang bermain di sana.
Beberapa kampanye hitam seperti selama pemerintahan ini, ada sekian puluh gereja ditutup. Ke mana pemerintah? Menarik adalah siapa yang mengatakan itu adalah orang-orang atau lembaga yang selama ini berteriak kencang dan lantang soal intoleransi. Mengatakan toleransi hanya keinginan minoritas, hormatilah mayoritas. Demo ini dan itu jika ada pendirian rumah ibadah, dan tiba-tiba sok peduli dan malah menuding pemerintah. Aneh dan ajaibnya perilaku model ini.
Ada juga kampanye, dan bisa diyakini akan tidak ada yang mengaku dari BPN ataupun TKN, yang mengatakan jika Jokowi menang kumandang adzan akan dilarang. Ada pula yang mengatakan jika Jokowi menang akan ada legalisasi pernikahan sejenis. Dalam satu sisi ada perasaan miris bahwa orang dengan tega bisa mengatakan ini dan itu yang tidak ada faktanya sama sekali. Pada sisi lain kreatifitasnya luar biasa karena bisa berpikir yang sama sekali baru, karena tidak ada indikasi apapun namun dilakukan.
Apa yang terjadi memang lekat dengan memojokan satu sisi calon, tanpa mengampanyekan calon lain secara verbal. Dengan hanya ada dua calon adalah kondisi psikologis pemilih yang tidak aman, ketakutan, kecemasan, dan memilih mundur teratur dan jika mau memillih apa yang berbeda dengan yang dinyatakan orang yang datang, bisa merasa bersalah bahkan berdosa. Mereka kemudian memilih tidak datang. Golput menjadi pilihan rasional.
Beberapa kejadian susah untuk melepaskan dari adanya kesinambungan dan kaitan dengan kampanye dan pipres. Ingat bukan pemilu legeslatif tetapi kecenderungan adalah pilpres. Beberapa kawasan ada "teror" pembakaran mobil dan motor. Pun ada juga tumbles ban. Ini memang tidak masif, namun terasa di lapangan ada agenda tertentu yang disengaja. Ulah riak yang kog susah jika mengatakan tidak ada kaitannya.
Jauh sebelum itu ada perilaku pemaksaan pemakaman, dan berulang lagi. Perusakan makam dengan indikasi agama tertentu. Meskipun dinyatakan secara publik sebegai perilaku orang gila, apa benar demikian. Riak-riak kecil yang perlu mendapatkan perhatian serius.