Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Jadulnya Capres Kami

Diperbarui: 22 Februari 2019   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jadulnya Capres Kami

Berbincang dengan sobat Kompasiner, dinyatakanlah, kalau sejatinya memiliki uneg-uneg mengenai jadulnya capres kali ini. Jauh sebelum debat malah, karena belum ada mood dan badan gak enak, akhirnya saya artikelkan saja. Dan sudah disetujui tentunya. Jadul, jaman sebenarnya zaman dulu banget, di dalam banyak hal. Pola pikir, pakaian, kesukaan, perilaku, dan yang terbaru soal onlen.

Sebenarnya bukan mau membuat dikotomi dengan sadis dan sarkas, tetapi lha ternyata memang demikian adanya. Lha putera semata wayangnya saja meminta untuk menanggalkan gaya berpakaian safari. Itu memang pakaian kebesaran bagi Bung Karno, tetapi kan abad lampau. Memang pakaian bukan tolok ukur, namun bisa menjadi cerminan pola pikir dan alam bawah sadarnya.

Sedikit demi sedikit juga mulai terkuak dan menemukan fakta satu per satu, bagaimana pilihan baju atau pakaiannya itu benar selaras dengan pikirannya. Beberapa kali memilih ungkapan pesimis, miskin data, merendahkan, yang khas perilaku jadul. Di mana seperti penjajah atau raja yang apa yang dikatakan adalah "sabda" kebenaran, dan yang dituding itu pasti salah dan kalah.

Beberapa yang bisa disebutkan sebagai bukti, kalau mau mencari akan dengan sangat mudah diperoleh. Beberapa kali mengolok dan bercanda dengan nada sarkas bagi warga Boyolali, wartawan, dan juga Grobogan.  Tidak patut, guyon ala elit ya tidak begitu lah.

Atau miskin data dan cenderung asal-asalan. Dalam alam pikir modern begini, ya dilibas karena banyak  pihak yang melek data. Soal hutan dan tenaga kerja asing yang selalu didengung-dengungkan. Ini jelas mudah dipatahkan, malah disinyalir ia sebagai salah satu pelaku penggunaan TKA. Atau  1% elit menguasai kekayaan negeri ini, di acara resmi debat capres pengakuan bahwa benar ia memiliki ratusan ribu hektare tanah. Apa yang ia nyatakan ternyata ia juga alami sendiri. Lagi-lagi jadulnya perilaku model pemimpin seperti ini.

Lebih memilih gaya retorika namun miskin data dan kehebohan saja. Kemudian dari kehebohan dan semangat berapi-api namun miskin esensi itu dijadikan bahan halusinasi yang diulang-ulang oleh para pendukung utama, yang itu-itu juga. Boleh orasi dengan gagah perkasa, membahana, membakar semangat, namun apa yang sudah dilakukan dari  apa yang ia retorikakan itu?

Sama sekali belum ada. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan dan berdampak dengan baik. Contoh soal korupsi. Mengatakan stadium empat, namun lingkaran utamanya bisa menyandera Jakarta dengan DKI 02 sekian lama. Untuk apa berkoar-koar namun tidak bertindak konkret?

Nah paling memiriskan ini soal unicorn, yang online-online. Ini menjadi perbincangan dunia lho. Banyak yang tidak paham, itu benar, banyak yang belum tahu, iya, namun jika level capres, kemudian baru saja ada kehebohan dengan sangat masif dengan tema yang sama, kog masih juga tidak ngeh.

Artinya, lambat merespons isu di mana hal yang baru terjadi saja tidak mampu mengenali. Coba jika ia menembak Jokowi, mengapa pendukungnya marah hanya karena ada kata presiden baru, bisa menjadi point penting. Eh malah gagap dan akhinya menjadi masalah serius di kalangan milenial.

Ini soal serius, bangsa itu ke depan bukan mundur ke belakang. Apa yang akan dilalui itu depan dan itu harus dikenali, dipetakan, dan dijadikan bahan analisis. Bagaimana bisa berproyeksi ke depan, kalau pola pikir dan pola tindaknya memang selalu di masa lampau?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline