Koalisi 02 ini makin lama makin sulit bukan makin solid. Ribut di dalam dan kelahi sendiri lebih dominan. Apa sengaja untuk cari tenar? Sama sekali tidak. Awalan hanya kesamaan asal bukan Jokowi yang lebih kentara, dengan alasan dan kepentingan masing-masing.
Indikasi paling parah adalah alotnya DKI Jakarta dengan posisi wagub yang hingga sekian bulan masih saja jalan di tempat. Ini bukan soal ada atau tidaknya kader, namun saling sikut dan sikat untuk duduk di kursi empuk DKI-2 itu. Sangat mungkin dan wajar hanya ribut karena kepentingan kursi dan kedudukan bukan soal pelayanan apalagi pengabdian.
Sekia partai politik yang masih bisa diandalkan untuk menjadi mesin pemilih yang relatif solid itu hanya Gerindra dengan seluruh komponen di sana, dan PKS. Hingga detik ini hanya mereka yang masih relatif utuh. Sikap setengah matinya PKS dijawab dengan setengah hati Gerindra bisa menjadi bumerang.
Model PKS yang takut-takut nekat, ala ayam babon, dengan menyebut nama, berkali-kali gagal itu diulang dalam drama DKI-2 ini. Penyebutan nama sebagai bagian gertak sambal ala sembilan nama capres-cawapres lampau. Kini diulang dengan menyebut dua nama cawagub. Toh tidak akan jauh berbeda. Tidak pakai lama, pernyataan partai yang memiliki kuasa lebih telah mengatakan ini bukan benar atau salah, namun tidak etis melanggar fatsun berpolitik. Main ancam ketika digertak bicara etis, haduh susah juga ini.
Permainan dua kaki memang belum dinyatakan oleh PAN. Partai penggembira ini sih tidak akan punya kuasa dan keberanian dengan sanderaan dugaan kardus, dan posisi sesepuh lupa umur, itu membuat mereka susah bergerak. Memang bisa dipercaya banyak juga tokoh dan elitnya yang membelot, namun tidak seterang-terangan Demokrat dan diikuti PKS. Pernyataan kalau capres mereka sangat tidak menguntungkan bagi partai pengusung dalam konteks ini tentu Demokrat dan PKS yang dinyatakan ketum dan presiden mereka.
Demokrat bahkan sampai mempersilakan kadernya untuk bebas memilih capres siapa saja. Partai dan ketua umum partai ini sih memang sudah gawan bayi main dua kaki. Telak dan cukup kurang ajar juga sebenarnya. Realistis tapi jaga kepatutan juga lah di dalam berpolitik praktis.
PKS ikut-ikutan. Apalagi partai ini paling sering dikadali oleh kebersamaan mereka. Sejak 2014, pilkada DKI 2017, dan pilpres kedua kalinya. Wajar jika mengatakan tidak menguntungkan mendukung koalisi ini, apalagi berkaca dengan DKI-2 yang alot tidak bermutu itu.
Berkarya bayi kemarin sore pun malah ikut-ikutan. Bagaimana wakil ketua Gerindra dulu, juga pendiri ini, kemudian menjadi ketua dewan kehormatan Partai Berkarya terang-terangan mendukung Jokowi. Dengan lugas juga mengatakan bahwa capres mereka tidak bisa berbuaat banyak untuk lima tahun ke depan. Jelas pukulan yang cukup kuat dan telak, di mana sedang perlu cukup banyak tenaga malah kehilangan dukungan yang cukup signifikan secara simbol.
Memang bahwa Partai milik Tommy ini paling-paling penggembira, namun toh secara simbolisasi cukup besar dampaknya. Politik itu kesan dan pesan sangat membantu. Dan di sini jangan dianggap sepele perilaku main dua kaki, bahkan oleh partai kecil sekalipun.
Perilaku partai yang main dua kaki, ditingkahi para kader yang dominan pencaci dan pendengki di dalam bersikap dan menjawab persoalan dan isu terhangat hidup bersama. Termasuk partai Demokrat yang mengandalkan kesantunan ternyata juga mengirim pencaci kelas wahid di masa kampanye ini. efek bagi koalisi dan Demokrat sejatinya.
Sikap di dalam membela bak babi buta pada para pelanggar hukum yang sedang menghadapi proses hukum seperti Riieq Shihab, Ahmad Dani, Buni Yani, Bahar Smit, terbaru Slamet ketua 212. Sikap mereka keterlaluan dan sangat terbaca dengan gamblang mereka tidak mau tahu dan tidak berhitung bahwa itu merugikan.