Kemarin, ada sebuah pemberitahuan yang dibagikan melalui media percakapan, mengenai permainan yang mengandung kekerasan. Dalam akhir daftar permainan, ada keterangan, bahwa anak yang memainkan permainan dengan tema kekerasan selama 20 menit, akan mudah melakukan kekerasan dan kehilangan empati.
Tidak bisa menghormati orang tua, tidak fokus belajar, apalagi jika ada iming-iming hadiah. Malah jadi ingat pada hidup bersama bangsa ini, yang makin kacau dan riuh rendah tidak karuan.
Salah satu yang mengidab peradaban kacau adalah KPK, ketika membuat jargon Berani Jujur Hebat. Jujur itu keharusan, tuntutan minimalis, bukan prestasi sehingga hebat. Ternyata budaya sejak zaman dulu kalau yang bernama adi luhung, tinggal slogan. Miris ya.
Beberapa waktu lampau, Pak Jokowi sowan ke rumah Ibu Shinta Nuriyah, ibu negara keempat Republik Indonesia. Sikap duduk Pak Jokowi yang ndepis, bukan dimaknai ingah-ingih, namun penghormatan pada pribai yang nilai unggul, patut dihormati, dan menjadi rujukan. Kelas guru bangsa yang jauh di atas banyak hal, bukan semata remeh temeh.
Eh hari-hari ini, paling tidak ada tiga kejadian, peristiwa, dan kisah yang sangat miris. Dari level elit hingga sangat biasa. Ada keterwakilan di sana. Kejadian pertama, ada pelanggar lalu lintas, tidak mengenakan helm, berjalan melawan arus, eh ditilang tidak bisa menunjukan STNK. Ketika mau ditilang, ngamuk dan merusak motornya.
Mirisnya, ketiga ditangkap polisi dengan berbagai pertimbangan, salah satunya dugaan ia membeli sepede motor bodong, ia menangis. Entah ke mana menguapnya keberanian, kesangaran, dan kejawaraannya ketika merusak kendaraannya.
Peristiwa kedua, ada siswa, merokok di kelas, dan ternyata di kelas mengenakan topi. Entah sekolah macam apa, ada perilaku ugal-ugalan seperti ini. Jelas merokok usai SLTP jelas pelanggaran parah, di kelas lagi. Mengenakan topi di dalam kelas, sedang pelajaran itu juga mempertontonkan bagaimana kedisplinan sekolah itu.
Ditegur ngamuk dan malah menantang sang guru dengan memegang kerah baju dan juga kepala. Ini sudah luar bisa gendengnya, si anak. Kejadian yang sama ketika diselesaikan nangis. Ora pandak, ora sumbut, tidak sepadan dengan gayanya yang menantang dan menarik kerah gurunya.
Eh di level lebih tinggi kelasnya, ada juga pimpinan dewan pusat meradang karena adanya doa dari seorang kyai, sepuh lagi tidak sesuai dengan keinginan dan kerinduannya. Membuatkan puisi doa yang tertukar sebagai reaksi dan bentuk kemarahannya. Desakan demi desakan untuk menarik puisinya, sekadar bentuk sesal dan maaf, namun tetap saja melaju dengan tingkah tengiknya.
Ketiganya memberikan fakta adanya ketidakhormatan pada pihak lain, emosional karena alasan yang parah karena membenarkan perilaku salah, reaksi yang berlebihan dan tidak sepadan, bahkan keliru. Cerminan yang memberikan bukti dan fakta bahwa permainan kekerasan juga hiburan yang berupa kekerasan itu sangat berpengaruh. Daya rusaknya demikian kuat.
Kekerasan baik fisik atau verbal itu sama buruknya. Jangan katakan, toh hanya kata atau kalimat, bukan fisik. Sikap permisif atas perilaku kasar dan kekerasan dalam bentuk kata, kalimat, dan makian, sedikit banyak juga berdampak, dan ikut mempengaruhi kebiasaan, peristiwa dalam kehidupan bersama.