Salah satu pimpinan dewan periode ini paling maaf naif. Bicara banyak namun lepas esensi dan kapasitas. Lebih sering main ranah puisi dan media sosial. Sah dan boleh-boleh saja menyuarakan kegelisahan dan suara kebenaran itu melalui karya seni, mural, puisi, teater, lagu, dan sebagainya, ketika saluran itu mampat. Aneh dan lucu bukan ketika ia adalah "penguasa" saluran itu namun malah nebeng saluran lain?
Sepanjang lebih dari empat tahun , cukup banyak apa yang telah ia lakukan, namun apakah itu menjaawab kebutuhan sebagai pimpinan dewan yang elegan, bermartabat, dan menjawab kebutuhan zaman, masih perlu dilihat dan dicermati lagi lebih mendalam. Sering orang menjadi permisif dan tidak jarang membenarkan perilaku itu dengan label oposisi. Sama sekali tidak, oposisi itu justru mainnya adalah ranah dewan, bukan malah main di jagad media sosial. Mengapa?
Perlu dicermati beberapa latar belakang perilaku yang cukup ugal-ugalan dari si pemimpin dewan ini. Beberapa tahun lalu, puterinya merepotkan sebuah kedutaan demi kepentingan pribadi. Untung masih waras dan meminta maaf dan kemudian mengembalikan kerugian materi negara. Coba kalau sekarang yang salah Jokowi. Padahal jika melihat pihak lain selalu salah, dia harusnya sempurna.
Setahun lalu berpolemik dengan salah satu menteri yang banyak mendapatkan dukungan dari dunia internasional bahkan. Menteri KKP yang ia tuding gagal karena nelayan makin susah karena cantrang dan penenggelaman kapal itu bukan prestasi. Cukup menarik. Ia menggunakan keberadaan nelayan sebagai alasan untuk mendeskreditkan pemerintahan. Bagus, jika memang kualitas dan kapasitas pemikirannya hanya sebatas itu. Mengapa?
Ternyata pola pikirnya sependek akal orang tidak memiliki wawasan. Pantas saja kalau dewan paling parah adalah era ini. cantrang itu merusak habitat laut jika dibiarkan begitu saja. Artinya, hanya generasi ini yang panen, sedangkan besok-besok tidak ada lagi keturunan hasil laut. Jika ia mau menggunakan otaknya tidak akan melakukan hal itu. Ini bukan oposisi namun waton sulaya.
Kedua, yang ditenggelamkan itu kapal maling. Lha apa iya maling kog malah dibela, atau ada kepentingan dengan para bos maling? Itu saja pertanyaannya. Apa yang yang biasanya untuk pesta maling itu, tentu akan bisa dinikmati oleh nelayan. Ini yang perlu dijadikan bahan pemikiran Zon, kecuali tidak mampu dan memiliki daya pikir panjang. Ya sangat mungkin.
Ketiga, lucu dan aneh adalah justru mengaku kritik, bolehlah meminjam bahasanya yang memang sesederhana itu, justru kepada menteri yang bisa memberikan hasil baik. Mengapa demikian? Apresiasi lebih banyak dan bahkan internasional. Di sinilah letak parahnya Zon dalam memilih sasaran untuk bahan dia kampanye. Pun Menteri Susi berani lagi melawan dan menang. Padahal era dulu, opsi penenggelaman itu sudah ada, namun tidak berani ke mana Zon?
Pembelaan banyak kasus hukum dengan hendak mengubah persepsi publik sebagai kriminalisasi ulama, rezim otoriter, dan sebagainya. Lagi-lagi keanehan dan kelucuan pola pikirnya sebagai pimpinan dewan. Bahar Smit itu melakukan kekerasan pada anak di bawah umur. Itu fakta yang sudah ada, rekaman ada, dan korban juga ada.
Kebetulan ia adalaah tokoh agama dan pilihan politiknya berseberangan dengan pemerintah. Satu kubu dengan dia. Sah secara hukum untuk menjadi bahan penyidikan dan penyelidikan. Tidak ada yang salah. Namun ia mengatakan bahwa itu adalah kriminalisasi ulama. Lompatan pemikiran dan alur logika.
Peristiwa Dhani dan Buni Yani pun setali tiga uang. Ia mau repot muter-muter ke pengadilan dan kejaksaan, serta tahanan. Kapan ia melakukan itu ketika anak Dani menabrak orang, jangan menjawab belum jadi anggota dewan, atau belum masuk barisan sakit hati. Banyak kasus aneh dan lucu namun ia diam saja. Ini yang katanya klaim anggota dewan?
Puisi dan puisi serta cuitan yang sering menjadi tertawaan, kadang polemik jauh lebih terdengar menjadi hasil karyanya, bukan kinerja sebagai dewan. setuju bahwa apa yang ia lakukan itu bagian dari keberadaannya sebagai anggota bahkan pimpinan dewan, namun apakah proporsional? Itu menjadi penting.