Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Fadli Zon: Capres Kami Tidak Pernah Bohong

Diperbarui: 24 Januari 2019   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik, apa yang dinyatakan oleh salah satu pimpinan dewan dan juga partai Gerindra ini, bahwa capres yang mereka usung tidak pernah bohong. Ya iyalah, namanya juga tokoh yang diusung, pantas kalau dikatakan yang baik-naik. Mosok mau mengatakan capres kamu keliru terus kalau bicara, kan tidak mungkin.

Apakah benar demikian, atau berbeda toh semua juga paham. Rekam jejaknya jelas, cetha mela-mela, gablang bagaimana ungkapan dan pernyataan capres mereka seperti apa. Jadi teringat beberapa hal berkaitan dengan hal bohong atau cara pandang mengenai faktual yang tereduksi menjadi persepsinya salah dan bisa menjadi sangat berbeda artinya.

DAESH atau ISIS itu memiliki kebiasaan, tabiat, atau kesukaan terhadap tawanan diajak bermain-main, berpura-pura akan dieksekusi. Baik  itu sebagai sarana propaganda dengan direkam kemudian dipertontonkan ke khalayak ramai, atau memang membuat para tawanan terbiasa. Dan para tawanan ini merasa alah palingan juga seperti kemarin, dan pas dieksekusi beneran, bisa dipenggal kepalanya, ekspresinya ya datar tidak ketakutan, karena dibiasakan terus menerus itu.

Ada juga kisah dengan berbagai variannya, entah asli atau hanya dongeng, legenda, di mana orang yang suka bohong itu mengatakan ada perampok, ketika ia bergiliran jaga atau ronda, biar banyak orang yang menemaninya berjaga-jaga. Perilaku itu diulang-ulang, setiap kali orang ini berjaga demikian. pas hari ketika ia mengatakan ada perampok datang, semua cuek saja dan tidak ada yang peduli, padahal ini rampok asli. Semua kampung habis. (ini ada kisah dengan varian yang berbeda, esensi sama)

Dulu memiliki teman, bukan pembohong untuk kejahatan, namun usil dan sering becanda jika berbicara. Setiap ia berbicara pasti rekannya tidak yakin. Nah ketika Rama Mangunwidjaya meninggal, rekan ini tahu terlebih dahulu. Ia mewartakan pada teman-temannya dan tidak ada yang percaya. Ketika lonceng kapel asrama berbunyi dan ada pengumuman baru yakin bahwa itu benar.

Zaman kuno, Plato mengajarkan namanya manusia gua, di mana tahanan diikat dan menghadap pada dinding seumur hidupnya. Namun mereka bisa melihat bayang-bayang di dinding depan mereka karena api dan cahaya dari pinu atau lubang gua. Suara di luar dan lalu lalang  orang mereka ketahui dan dengar.

Suatu hari salah satu tahanan keluar dan karena silau sekian lama tidak menghadapi cahaya, ia bingung. Setelah adaptasi ia bisa melihat kenyataan, adanya sungai, orang lalu lalang, matahari (simbol kebenaran). Apa yang ia saksikan sebagai kenyataan itu membahagian, ia masuk dan mengatakan pada rekan-rekannya di dalam. Namun apa yang terjadi?  Mereka marah dan tidak percaya bahwa merekalah, bayang-bayang itu yang benar. Rekannya yang melihat kebenaran asli itu dihujat sebagai pembohong.

Kebenaran bisa menjadi salah, ketika lebih banyak informasi sesat yang didengung-dengungkan terus menerus. Persepsi telah rusak karena logika berpikir telah kisruh mana yang benar dan mana yang salah tidak lagi jelas. Dua ilustrasi di atas soal rekan mewartakan khabar tidak dipercaya, DAESH, dan juga peronda pernah saya jadikan ilustrasi, pengulangan karena memang mendukung.

Pengulangan atas kehobongan, membual, dan membesar-besarkan pembicaraan, bisa menjadi akut dan tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Ini bencana. Sebagaimana manusia gua tadi, si pembawa warta benar dituduh sesat karena sekian lamanya hidup dalam ilusi dan bayangan semata.

Fakta yang cukup faktual telah terlontar berkaitan dengan tujuh kontainer surat suara yang tercoblos. Bagaimana mereka mengatakan jika pemeriksaan di pelabuhan itu tidak terbukti. Pada saatnya ketika dinyatakan yang sama, orang sudah tidak percaya dan itulah kontainer yang sebenarnya.  Bagaimana mereka sebenarnya tahu namun jelas pura-pura tidak tahu bahwa mereka sendiri yag bohong dan mereka yang menuding pihak lain bohong.

Melihat reputasi mereka tidak mungkin bahwa tidak tahu ada kebohongan. Namun mereka memang sengaja untuk mengubah persepsi. Apa yang nol besar bagi mereka itu hendak disematkan pada  pihak lain yang berprestasi.  Sangat kejam model perilaku politik demikian ini. Bagaimana demokrasi yang beradab itu dibangun jika pecundang demikian merajalela.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline