Andi Arief dan Demokrat sedang kalang kabut karena tabiat baru yang dibawa elitnya, Andi Arief yang kog serasa ikut arus budaya koalisinya. Cukup menarik tampilan Andi Arief dalam menyikapi pemilu mendatang ini. mengapa pemilu, bukan pilpres? Posisi Demokrat itu jauh lebih mempertontonkan asal-asalan dalam koalisi, dan jelas realistis mengusung kampanye pileg. Mereka enggan untuk hilang dari peredaran dan malah membesarkan parpol sebelah.
Koalisi teman sekaligus lawan yang harus cerdik-cerdik memainkan peran. Apalagi memiliki banyak irisan atau singgungan pemilih. Keluarga besar militer khususnya angkatan darat. Ada Prabowo dan kawan-kawan di Gerindra, ada pula SBY dan AHY bagi Demokrat. Mereka kawan dalam koalisi pilpres dan sekaligus rival untuk pileg.
Irisan kedua soal pemilih milenial, dengan adanya AHY bagi Demokrat dan Sandiaga Uno bagi Gerindra. Tampilan dan jualan yang relatif sama, dan kecenderungan ke depan identik, ini jelas memberikan rivalitas yang cukup sengit. Di atas lapangan jelas kawan koalisi, toh di belakang mereka ini rival sejati. Dilema juga mau mengembangkan yang mana, dan itu jelas pilihan cerdik harus dimainkan.
AA Pelaku Utama Antagonisnya Demokrat, namun Protagonisnya Koalisi
Hal yang cukup cerdik dilakoni Demokrat, dengan melepas Andi Arief dengan sokongan Ferdinan H, dan celetukan elit lain sebagai penggembira. Yang jelas hanya mereka berdua yang bersikap antiarus utama Demokrat. Membaca hal ini seolah adanya "pembiaran" oleh SBY jelas bahwa ini sudah menjadi bagian dari cara berkampanye mereka.
Pilihan untuk menampilkan searah garis koalisi jelas cukup jitu, di mana mereka bisa bersama-sama dengan di dalam gerbong pilpres. Mereka enggan dikatakan tidak semanagt dan enggan untuk kampanye bagi capres mereka. Perilaku main dua kaki dan cari aman yang khas Demokrat kembali menguat. Mereka tetap dalam koridor di dalam orkestrasi kebohongan ala koalisinya, tetapi partai Demokrat yang tetap santun ada di dalam gerbong SBY-AHY.
Efek ganda diperoleh dengan demikian, pilpres mereka jelas enggan membesarkan rival, tetapi jelas tidak elok jika tidak terlibat penuh. Hitung-hitungan cerdik, jika menang tetap dapat jatah, kalau kalah, partai tetap masih cukup kuat berakar. Mereka jelas tidak mau membesarkan rekan sekaligus rival di dalam pilres.
Celetukan dan pernyataan aneh-aneh AA hanyalah promosi Demokrat dengan cara koalisi. Soal koalisi mana pernah mereka berbicara dengan lugas dan jelas. Sama sekali tidak ada. Lihat saja keputusan untuk membiarkan elit daerah mendukung paslon rival, gambaran konkret politik mereka.
Pilihan cerdik telah dipilih, namun ternyata masih perlu belajar banyak menggunakan hoax, dan model kebohongan itu. Demokrat bukan ahlinya, mereka belepotan, kedodoran, dan akhirnya mau keluar malah makin terbenam. Lumpur kebohongan habitat baru yang belum mereka kenal medannya dengan baik.
Perseteruan dengan banyak pihak jelas merugikan Demokrat sendiri. Lihat saja bagaimana AA malah bertikai dengan Mahfud MD yang malah menyiram saus ke muka SBY soal kecurangan surat suara. Faktanya UU itu memang zaman SBY. Cara berkelit yang malah membuat parah keadaan, menyeret semua yang dirasa membahayakan dirinya. Lihat cara kolega mereka ketika menebar kebohongan, langsung tidak peduli begitu saja, hanya gertak sambal sesekali untuk formalitas. Lebih cenderung tidak peduli, sebagaimana kebohongan mereka itu.
Menyeret persoalan ke ranah hukum pilihan parah dan payah, kolega mereka yang sudah ahli tidak demikian, hanya akan memberikan kebohongan baru. Di sini peran jam terbang dan kebiasaan yang belum Demokrat pahami.