Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Makna Natal dari Seorang Mantan Tukang Becak

Diperbarui: 24 Desember 2018   05:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua hari lalu, kami memesan kelontongan kupat dari tetangga yang memang tiap Lebaran dan Natal menjual jasa membuat kelontongan kupat. Ia memang berprofesi utamasebagai tukang becak dulunya, kadang juga nelayan Rawa Pening.  Moment-moment tertentu ia mengais rezeki dengan apa yang sedang sangat dibutuhkan waktu itu, seperti kelontongan kupat ini.

Pas ia mengantar ke rumah ia banyak berkisah, kalau mengenai Natal itu banyak ragam yang ia hadapi di dalam bersikap, sesuai pilihannya. Ia mengatakan, ketika ia anjang sana ke rumah-rumah, ada beberapa komentar.

Pertama, apakah ia kelaparan atau tidak bisa makan, orientasi pemberi tanggapan ini adalah bahwa datang ke keluarga yang sedang merayakan Natal karena mencari makanan, urusan perut. Sudut pandang yang bisa dipahami.

Jawaban cukup sederhana, aku isih isa kerja, aku isa obah mesti mamah, anakku yo nyambut gawe, ra ana urusan karo soal mangan. Aku bisa bekerja, mau bergerak tentu akan makan, anak-anakku juga bekerja, ini bukan soal urusan makanan semata.

Kedua, orang jalannya lain kog ikut-ikut.  Hal yang cukup banyak terjadi. Tiap tahunpun gemanya tidak pernah berkurang, kadang sangat heboh bahkan.

Jawabannya juga sederhana, tidak perlu memaksa apapun yang kamu yakini, aku melakukan apapun yang aku nilai benar tanpa merugikan siapapun. Tidak perlu memaksakan orang untuk ini dan itu. Pilihan ku pertanggungjawabanku pada Yang kuasa.

Aku melakukan itu karena aku juga mendapatkan ucapan yang sama ketika Lebaran. Aku membalas apa yang mereka lakukan, toh mereka berbuat baik, aku membalas juga hal baik yang aku bisa lakukan, minimal membalas apa yang mereka lakukan itu.

Sangat sederhana pilihan itu, pola pikir juga sederhana, tidak ada muatan apapun yang ia lakukan, mana ia mikir, politik, teologi, namun hidup bersama yang ia yakini kebenarannya, tidak ada yang ia rugikan menjadi prinsip yang layak saya pribadi renungkan.

Beberapa kali saya menuliskan tema ini, masih saja ada yang berkomentar bahwa wong ucapan kog mengemis, meminta-minta diberi. Ingat ini bukan soal mengemis ucapan, dan ucapan itu tidak berpengaruh pada secuilpun kualitas iman. Tidak ada kaitan dengan iman, namun bagaimana hidup bersama itu dipahami secara hakiki.

Apa yang diajarkan Pak S tersebut adalah ungkapan pribadi, perjumpaan personal, bukan masalah njlimet soal teologi, iman, dan apalagi politik, tidak ada. Ia berkeliling setiap tanggal 25 Desember dari rumah ke rumah. Rumahnya yang berada pada kampung yang berbatasan dengan perumahan jadi , cukup banyak keluarga yang merayakan Natal.

Tidak akan ada kami yang merayakan Natal itu mengemis, atau merasa kog tidak diucapi ya, itu adalah pemikiran orang yang sebenarnya malu, namun ditutupi dengan sombong. Siapa di K ini yang demikian? Bisa dicek masing-masing, dan di kolom komentar juga ada. Saya ulang-ulang, karena ini adalah penting, biar hatinya juga belajar sedikit lebih berkualitas. Berbeda tidak perlu memaksa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline