Menarik, ternyata Prabowo begitu meradangnya dengan media. Usai memboikot Metro TV, kini jengkel karena peristiwa akbar 212 ternyata sepi dari perhatian media. Prabowo tidak sendirian di dalam kejengkelannya, mungkin malah sudah sangat jengkel, tokoh lain pun demikian. Wajarlah, kegiatan yang dipandang sebagai strategis untuk menarik massa dan "kampanye" gratis itu jauh dari harapan.
Liputan yang dinilai minim, tidak menjadi artikel utama oleh media besar negeri ini, eh kisah-kisah minir jauh lebih menguasai pemberitaan dan pembicaraan. Salah satu yang paling heboh adalah mengenai klaim dan bantahan jumlah kehadiran. Ada yang iseng menghitung luasan kawasan Monas dan sekitarnya, dibandingkan dengan luasan orang membutuhkan untuk bisa duduk atau berdiri dengan nyaman. Wajar saja, namanya alam demokrasi.
Atau fokus malah kesalahan Prabowo yang menyebut Nabi Muhamad di dalam pdatonya. Jelas ini bisa berefek ke mana-mana karena mereka pernah melakukan itu ketika Jokowi menyebut dengan lafal adat hariannya. Kesalahan bukan karena lafal atau dialeg.
Jauh hari sebelumnya juga lebih menghiasi media kecenderungan memberitakan pro-kontra kegiatan ini, banyaknya tokoh utama yang dulu menjadi punggawa dan kini malah mundur dan bahkan ada yang sudah pada posisi berseberangan. Bagaimana penilaian tokoh ini dan itu, bagaimana tanggapan mereka mellihat rencana reuni 212.
Awal saja sudah memang dinilai sudah tidak ada apa-apanya dengan kegiatan ini, mau kegiatan agama, relasional atau silaturahmi, pun kurang mendapatkan simpati. Masih banyak cara dan jalan lain yang lebih baik dan lebih relevan. Pandangan jika itu lebih nuansa politis praktis lebih mengemuka dan menggejala.
Sebenarnya Prabowo dan kawan-kawan tidak perlu kaget, jengkel, marah, dan mengatakan media tidak meliput mereka, merusak demokrasi, dan sejenisnya. Konsekuensi logis sebenarnya ketika memang sejak awal lebih cenderung kontroversial daripada hal yang esensial, media juga susah mau mengupasnya.
Jika benar memang itu kegiatan keagamaan, bukan politis, keempat kandidat diundang semua, dan dari sana bisa menilai mana lebih baik dan menghormati kegiatan dan kebersamaan itu. Ketika menggunakan undangan, yang tidak diundang jelas tidak datang. Mereka bukan jalangkung masalahnya.
Ada kekeliruan sejak awal mengenai undangan dan kegiatan itu seperti apa pada dasarnya. Jelas lebih berupa kampanye, yang lagi-lagi pun ditolak untuk mengakui. Kembali munafik dalam perilaku yang mengaku kegiatan agama.
Pelaksanaan pun ternyata memang aroma kampanye lebih kuat. Di mana satu koalisi semua hadir, dan koalisi lain sama sekali tidak ada. Susah menyangkal lagi, bahwa akhirnya adalah "kampanye" terselubung. Mau membantah sangat susah.
Seruan ganti presiden dan adanya ceramah dengan video mengenai hal yang sama. Materi kampanye jelas tersaji karena menawarkan salah satu kandidat dan jangan memilih kandidat lain dengan berbagai argumennya. Ini kampanye.
Chanel 08 dan Prabowo