Salah satu tokoh muda yang mengemuka adalah AHY. Paket komplet sebagai seorang calon pemimpin bangsa di masa depan. Keluarga militer, presiden, mertua pun pejabat, memiliki partai politik yang sempat paling besar. Muda, cerdas dengan berbagai atribut kependidikan bahkan luar negeri. Pemilih yang masih suka klepek-klepek melihat penampilan fisik pun bisa menjadi andalan.
Militer pun lulusan yang mentereng, Adi Makayasa, jelas sebuah jaminan mutu, paling tidak akan mendapatkan kursi KSAD, dan bisa juga Panglima TNI. Ini sisi militer. Sangat cerah dengan tanah yang cukup subur, toh bapaknya juga militer hingga bintang tiga, dan bintang empat saat menjadi presiden. Tidak ada jalur melenceng atau terjal sebenarnya. Karpet merah digulung dan dihamparkan karpet lain. Sama-sama menjanjikan.
Jalur politik yang baru dijalani belum genap dua tahun juga cukup memberikan harapan. Seolah jalan tol yang baru dibangun, dan belum terkelupas aspal di sana-sini. Muda, cerdas, menjanjikan seolah menjadi nilai tambah ketika Pak Beye menarik penugasan di Australia dan dijadikan calon gubernur DKI. Cukup berani sebenarnya karena adanya incumbent, yang cukup kuat.
Karpet merah itu sudah dibentang, ketika SBY sampai mengeluarkan jurus lebaran kuda berkaitan dengan suhu panas atas ucapan Ahok yang sangat menjanjikan itu. Pak Beye turun gunung untuk menjadikan AHY sebagai seorang kuda hitam yang patut diperhitungkan.
Sebagai politikus senior, matang dalam kalkulasi politik, ternyata kapitalisasi masalah ucapan Ahok diperioleh Anies-Sandi dan justru AHY terlempar sejak awal. Konon ada intrik dan dukungan palsu yang menjanjikan, dan ada saatnya berbalik arah. Toh sudah terjadi, karpet merah ternoda kelam.
Cepat bereaksi untuk menjual AHY lebih tinggi, SBY membuat the Yudhoyono Institute, dari sana AHY yang bersafari politik, bertemu tokoh-tokoh penting bangsa. Jelas arahnya SBY menjadi penasihat spiritual dan AHY yang maju. Jalan seolah lancar, mulus, dalam kendali, dan harapan besar makin membuncah.
Riuh rendah pilpres makin keras, namun nama AHY makin redup. Seolah tidak ada yang mau menjadikannya sebagai bakal calon wakil presiden. Dua nama bakal calon presiden, Jokowi dan Prabowo juga tidak pernah memberikan signal sedikitpun untuknya. Malah ada bisik-bisik kalau Prabowo yang jebolan bintang tiga menilai mana bisa level wakil presiden kog melati satu lagi. Hal yang sama dinyatakan oleh elit Gerindra yang menilai kodim saja belum pernah mau memimpin negara.
Muara dan puncak dari itu semua adalah ketika KH. Makruf Amin telah dideklarasikan oleh Jokowi bersama koalisinya, masih ada harapan AHY akan dibawa oleh Prabowo, karena selang sehari mereka baru mengambil keputusan final. Tengah malam ternyata berbalik arah sangat parah dan Sandi yang menjadi bakal calon wapres Prabowo. Tudingan jenderal kardus Andi Arief pun wajar. Semarah SBY yang merasa ditelikung dan karpet merah AHY kembali direnggut Sandi.
Hingga di KPU baru dukungan Demokrat dibubuhkan. Sangat bisa dipahami. Kepentingan 2024 yang memaksa Demokrat dan SBY memilih. Tanpa sang putera ikut di dalamnya. Dengan berat hati Pak Beye berkenan. Masih ada harapan minimal menjadi ketua tim sukses, akan sedikit banyak memberikan sebentuk harapan bisa berbicara banyak setingkat lebih rendah dari pasangan capres dan cawapres. Dan itu pun luput.
Sandi berkeliling dengan segala kelucuannya itu, seperti badut di tempat rekreasi dengan nalar cupetnya. Kampanye yang memberikan point justru pada rival. Meremehkan Menteri KKP itu jelas fatal, bagaimana tidak ketika menteri yang bekerja keras dan diakui banyak pihak, malah diserang yang berujung minta maaf.
Apalagi kelucuannya di pasar yang berakhir pada jengkelnya para pedagang pasar dengan isu harga mahal yang membuat pembeli enggan masuk ke sana. Maunya membela malah menusuk. Pilihan buruk dan sangat jelek, belum lagi isu tempe yang berkutat dari kehebohan satu ke kehebohan lain. Ini mau jadi pejabat tinggi negara atau mau melawan, kalau begitu ikut saja stand up comedy.