Menyaksikan perilaku politikus akhir-akhir ini jadi ingat lagu lamanya almarhum Gombloh, yang menyatakan, maaf tai kucing rasa coklat. Apa yang dimaknai oleh Alm. Gombloh itu, cinta itu hilang logika, semua hal bisa berbeda makna dan arti karena semua tertutup yang namanya cinta. Eh ternyata dalam berpolitik, politikus kita akhir-akhir ini kena sindrom ini, kalau politik melekat, tai kucing rasa coklat.
Beberapa indikasi boleh lah kita lihat bersama.
Pertama, Amien Rais yang merasa menjadi korban Ratna Sarumpaet, namun enggan diperiksa polisi. Demi menyelamatkan nama diri dan kredibilitasnya menggigit Kapolri Tito Karnavian, usia upayanya melepaskan diri dengan dalih recehnya tidak mempan. Pun KPK juga hendak diadu domba dengan kepolisian.
Kedua, penolakan luar biasa dengan dalih macam-macam itu, eh sepulangnya dari pemeriksaan menjadi lunak, memuja muji polisi sebagai memberi penghormatan, memuliakan. Aneh dan ajaib seorang Amien Rais memuji pihak lain. Ingat, paginya masih meminta kepala yang akan memeriksanya dicopot lho.
Menarik mengapa bisa berubah sedemikian drastis, dari yang mengamuk bak babi buta, berubah cengengesan kayak anak-anak demikian. Indikasi ketakutan sendiri bahwa reputasinya akan remuk redam, sehingga ia berusaha untuk menjauhkan diri dari pemeriksaan. Urusan malu ketahuan belangnya juga berperan cukup signifikan.
Alasan lain bisa juga, bahwa polisi memiliki terlebih dahulu fakta kunci yang membuatnya akan makin malu dan hancur lebur jika masih bergaya sok-sokan sebagaimana sebelum masuk ruangan. Soal bukti yang dipegang ini bisa bermacam-macam, ingat dia juga bukan malaikat yang bebas dari masalah yang bisa menjerat lho.
Mungkin juga masalah yang akan ia ungkit ternyata sudah ada dalam media. Mengenai KPK yang akan ia bongkar sudah lebih dulu dibahas media, jadi tidak ada kejutan yang cukup menyelamatkannya. Saling sandera yang dimaui ternyata telah layu sebelum sempat berkembang.
Ketiga, elit Demokrat yang tidak berjiwa Demokrat, malah klenik dan othak athik gathuk, bagaimana tidak ini asli tai, atau telek burung yang dikait-kaitan dengan nomor peserta pilpres. Tepok jidat dulu nampaknya menghadapi manusia model demikian.
Keempat, Fahri, ketika meminta soal kepalsuan Ratna Sarumpaet dianggap selesai, karena hanya kecil saja, lupa bahwa ia sudah menyatakan apa sebelumnya. Masalahnya tidak menjadi sederhana karena melibatkan elit kelompoknya yang masif, padahal ternyata ada indikasi mereka ini kena tipu, oleh siapa? Ya jelas rekan mereka sendiri.
Kelima, agak jauh sih, ibu sesepuh Demokrat yang hobi photografi itu menafsirkan awan di langit sebagai angka nomor undian Demokrat yang akan memberikan harapan cerah bagi partai Demokrat. Lha nyatanya malah makin jauh dari harapan.
Apa yang ditampilkan para elit ini kan kamuflase dari fakta yang seharusnya menjadi rujukan, acuan, dan pola pikir politikus. Politik dan politikus itu harusnya rasional, kalkulatif, dan bukan spekulatif. Benar bahwa dalam politik perlu namanya spekulasi, namun berdasarkan hitung-hitungan yang matang, bukan malah nglenik, dan othak-athik gathuk. Apa yang dilakukan cenderung tidak berdasar dan tidak nalar. Karena apa? Jelas karena sudah kehabisa ide, gagasan, dan peluang untuk melangkah dengan gagah perkasa.