Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Buku Bajakan, di Antara Pemimpin Penuh Kepalsuan dan Koalisi Plastik

Diperbarui: 5 Oktober 2018   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa kali mengunjungi pameran buku, di tempat yang berbeda, namun satu yang sama, bahwa kebanyakan bukunya adalah cetakan bajakan. Harga memang antara 30-75% dari harga jika ada di toko buku, apalagi toko buku ternama. Jangan kaget soal kualitas kertas dan cetakan, jauh dari yang edisi dan percetakan yang orisinal tentunya.

Melihat fenomena lingkaran setan ini, susah juga siapa yang mau dipersalahkan, toh pameran itu pun diselenggarakan oleh pemerintah atau instansi negara. Pembaca dan rendahnya minat baca membuat buku menjadi mahal. Penulis jelas menjadi susah untuk bisa banyak berharap dari karyanya. Demikian juga penerbit dan percetakan serta distributor.

Mengubah budaya dan kebiasaan membaca pun tidak mudah, maunya murah dan kadang juga gratisan membuat makin sulit keadaan menekan pembajakan dan beredarnya budaya bajak membajak. Belum lagi jika bicara birokrasi lainnya yang berkaitan dengan penerbitan dan penulisan serta buku.

Jika buku saja demikian besar dampak dan kerugiannya, apalagi jika itu adalah pemimpin. Bagaimana pemimpin yang dibangun dengan kepalsuan dan citra palsu yang diulang-ulang. Betapa banyak kerugian dan apa yang bisa diharapkannya?

Kebersamaan itu bisa dibangun atas kesamaan dalam arti yang positif. Tidak jarang mereka disatukan dalam keadaan sebaliknya. Mereka merasa satu di dalam tujuan tertentu dan kadang atau bisa saja karena adanya kerusuhan hati yang mendorong mereka untuk saling terhubung.

Mereka mengaitkan diri di dalam sebentuk kesatuan maya, palsu, dan menutupi banyaknya kepentingan masing-masing. Mengapa menyatu dan mengikat di dalamnya? Jelas karena mereka tidak mampu, tahu kalau keadaan mereka tidak akan menang, dan tahu sangat berat untuk bisa berbicara banyak menghadapi rival.

Yang plastis itu pun dianggap benar, yang benar dituduhkan palsu, yang maya dianggap nyata, eh pas nyata malah dituduh sebagai rekayasa. Berulang kali, bukan hanya sekali dua kali, setiap saat mereka mendapatkan panggung untuk itu beramai-ramai mereka akan saling menguatkan kepalsuan.  Apa iya model palsu bahkan pabrik palsu demikian itu bisa dipercaya untuk memimpin?

Pemimpin itu yang patut adalah yang berjiwa tulen, kata Bung Karno satunya perkataan dan perbuatan. Sangat respek dan setuju dengan perilaku demikian. Tidak munafik dan penuh dengan drama serta kepalsuan.

Bersama kita lihat bagaimana kebersamaan mereka selama ini cenderung palsu. Koalisi hanya administrasi dan di atas kertas. Fakta jauh dari itu semua. Tanya saja kalau mau jujur pasti PKS, PAN, Demokrat gerah dengan ugal-ugalannya Gerindra. Memang sih soal kardus itu bisa mengubah keadaan secara mendasar.

Fakta yang paling jelas sapu bersih untuk seluruh posisi strategis pilpres, baik capres dan cawapres, pun posisi ketua timses pun dari satu partai, Gerindra. Lha apa rekannya itu hanya pelengkap administrasi saja?  Coba tanya PKS bagaimana mereka selalu merasa gemas menghadapi jabatan wagub Jakarta. Di depan mata tapi tetap tidak mudah, seperti anak ambil koin waktu tujuh belasan.  Mudah tapi susah. Karena semua palsu.

Bersama Demokrat pun koalisi palsu. Mana ada sih kebersamaan tulus diwarnai dengan main belakang dan memutuskan dengan sepihak demi amannya sendiri, tanpa melibatkan dan mendengarkan apa yang seharusnya duduk dalam satu meja dan kepala dingin. Reaksi yang sama diberikan dengan Demokrat pun melaju sendiri dengan ide-ide mereka. Lagi dan lagi koalisi di atas kertas semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline