Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Jenderal Kardus, Operasi Plastik, dan Kualitas Kepemimpinan

Diperbarui: 5 Oktober 2018   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam Arus Balik, Eyang Pram mengisahkan seorang syahbandar yang terusir karena intrik kotor zamannya, beralih rupa dengan cepat, dari Rangga Iskak menjadi Ki Aji Benggala, dan menapak lebih tinggi Kiai Benggala. Orang yang menggunakan agama sebagai sarana menuju kekuasaan demi uang dan materi. Karena merasa mampu mencuri meriam, yang dipesan oleh Tuban, ia merasa akan menang dengan mudah.

Ia abai akan bagaimana mengoperasikan meriam, perbedaan sistem perang dengan jalan kaki, panah, kuda, dan gajah yang harus digantikan dan diperlengkapi oleh meriam. Ada dua orang pelarian Portugis yang jelas lebih ahli dalam konteks pemakaian meriam, namun karena ceroboh, atau malah bodoh, Ki Aji Benggala merasa ia yang paling benar.

Dua tukang meriam Portugis yang tahu dengan baik sistem perang ala Barat dan meriam, dikatakan dalam nama Allah semua bisa terjadi, bukan karena tak tik perang. Dan malah pasukan sendiri meledak karena jatuhnya bahan peledak hanya sampai jangkauan pasukan kawan bukan lawan.

Ini jelas salah Ki Aji yang fideistis, iman menyelesaikan, iman pun perlu nalar dan upaya. Si Portugis tahu daya jelajah pelurunya belum menjangkau barisan musuh, tidak efektif dan efisien.

Jelas ini bukan karena iman namun karena ceroboh dan mencobai Tuhan untuk memaksa jauh lebih dari batas daya jelajahnya. Jelas pasukan mereka yang tidak seberapa malah hancur lebur senjata sendiri. Senjata makan tuan yang sia-sia.

Berkaca dalam kisah Eyang Pram, ternyata di hari-hari ini hal tersebut terjadi. Bagaimana seorang  pemimpin itu tetap harus mendengarkan yang lebih ahli.  Tidak semua ketrampilan dan keadaan ia kuasai, sehingga perlu mendengarkan ahli atau yang berkompeten. Jika tidak jelas itu adalah perilaku yang ceroboh dan gegabah apalagi sudah menjadikannya berita yang besar.

Keputusan atau pernyataan itu bukan karena emosional, namun rasional, ditimbang baik buruknya untung ruginya. Ki Benggala menghancurkan pasukannya sendiri karena ia emosional, rasionalnya terkelabui oleh keberadaan meriam yang belum sepenuhnya mereka kuasai.

Ketika Prabowo mengadakan konferensi pers, ia memindahkan panggung kisah Ratna Sarumpaet ke pentas media arus utama. Hari-hari sebelumnya itu hanya kisaran media sosial, bukan media arus utama yang jauh lebih berdampak. Padahal hanya berdasar pengakuan sepihak, jika tidak emosional, ia akan mendengar juga adanya suara lain soal dugaan kekerasan itu tidak demikian adanya.

Pemimpin yang baik akan tetap bertanggung jawab atas apa yang ia putuskan. Ki Benggala menyelamatkan diri ke tempat di mana ternyata ia telah menyimpan banyak harta benda di mana anak buahnya tidak tahu. Pasukannya hancur lebur di bawah ketaatan katanya.

Usai kenyataan dikuak sendiri oleh yang awalnya mengaku korban itu, Prabowo dan kawan-kawan beralih peran menjadi korban. Padahal jika mereka ksatria, mereka tetap mengatakan maaf tanpa embel-embel menuding pihak lain. Ada yang menyatakan karena menjawab media, lihat media yang dianggap biang keladi, ia hanya merespons.

Ada yang mengatakan itu hanya soal kecil, atau malah melibatkan pihak lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Pengakuan dan permintaan maaf dengan masih menyoal pihak lain, jelas perilaku yang tidak patut sebagai seorang yang mengaku beragama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline