Dalam artikel terdahulu, selengkapnya, salah satu komentar yang ada adalah bahwa Prabowo dan Gerindra tidak cukup yakin melepaskan salah satu kader PKS untuk berduet dengan Anies, yang bukan kader mereka seutuhnya. Itu bukan bagian atas pemikiran dalam melihat kasus alotnya penentuan wagub DKI ini. Bandingkan ketika Ahok dengan Djarot dulu, tidak lama sudah langsung selesai.
Mengapa Gerindra tidak yakin, meminjam istilah K-ner tersebut? Rekam jejak Anies yang memang bukan kader Gerindra. Kader yang mereka usung adalah Sandi. Jadi jelas mereka memiliki keinginan kader mereka yang menggantikan Sandi, bukan kader PKS.
Rekam jejak juga soal Anies yang belum sepenuhnya bisa diyakini keloyalan pada Gerindra, ingat 2024, Anies masih cukup muda untuk bisa bersaing dalam elit pilpres mendatang. Gerindr juga belum ingat 2014, Anies posisi ada di mana. Artinya, sangat wajar jika Gerindra menjaga jarak untuk tidak terburu-buru melepaskan DKI-2.
Pun reputasi PKS yang gila kuasa itu. Bagaimana tidak, usai jadi menteri, walikota pun diambil. Lihat Nur Mahmudi. Mereka juga selalu ngotot soal Jakarta, bagaimana mereka yang pernah tiga besar tentu sangat percaya diri dan yakin untukmemegang Jakarta.
Sore ini, Syaiku sebagai elit PKS telah mengaku kalau Gerindra telah menyerahkan jabatan wakil gubernur untuk DKI bagi mereka. PKS pun telah memiliki nama yaitu Syaiku dan Agung yang akan diajukan kepada Gerindra sebagai rekan mengusung Anies-Sandi dalam gelaran pilkada 2017 lampau. Apakah sudah demikian sederhana dan mudah? Belum tentu juga melihat M. Taufik juga kekeh untuk dapat menjadi orang nomor dua di DKI.
Cukup menarik tarik ulur ini, ketika mereka bersama-sama di 2014 dengan segala kehebohan, paling getol menyuarakan adanya kecurangan itu siapa? PKS padahal mereka hanya penggembira. Gerindra dan PAN yang memiliki kader pun tidak memiliki semangat sebagaimana mereka lakukan. Mengaku memiliki data kecurangan dua kontainer, ternyata kotak kontainer plastik itu, menuntut ke mana-mana. Itu kerja PKS, belum lagi kerja tim dunia maya mereka. Jadi dengan adanya harapan di DKI-2 ini cukup menjadi pelipur lara bagi mereka.
Usai kerja keras dan "setia" sejak 2014 dan juga diulangi dengan kisah yang tidak jauh berbeda 2017 di pilkada DKI. Lagi-lagi mereka hanya penggembira. Hanya Anies saja yang nampaknya bisa mereka pahami sebagai sebagian atau memiliki ikatan meskipun selembut rambut. Dengan terpaksa mereka juga mengusung dengan berat hati. Dan bisa. Keadaan itu membuat mereka yakin akan bersama-sama di pilpres, dan berharap satu kadernya bisa bersama Prabowo untuk 2019.
Apa yang dibayangkan sejak lama itu ternyata sia-sia. Sembilan nama besar yang diajukan mereka, bahkan sempat memberikan ancaman batas waktu segala toh tidak jadi juga. Nama kesembilan orang dengan gaya dan cara masing-masing. Paling getol jelas Mardani Ali Seraa yang bersafari politik dengan #2019gantipresiden itu. Guliran yang ternyata malah blunder karena nampaknya ia sendiri malah kebingungan dengan idenya sendiri.
Ketika nama untuk wapres bukan kader mereka, mereka diam seribu bahasa, entah karena kardus atau yang lain, karena toh kardus sudah usai dengan pernyataan Bawaslu. Dan nampaknya soal kardus bisa ditepikan, dan cenderung berharap pada ketum tim pemenangan dan DKI-2. Cukup cerdik mereka, daripada memaksakan RI-2 yang tentu berat, mereka realistis saja.
Eh ternyata pemenangan pun bukan mereka. Harapan tinggal DKI-2, dan nampaknya makin jauh karena M. Taufik bersikukuh bahwa dia juga berhak. Lumayan ramai, akhirnya HNW tidak tahan diam dan mengatakan mosok semua diambil Gerindra, ingat komitmen pemenangan, jelas soal pilpres.
Kondisi rebutan ala Gerindra-PKS melengkapi kisruh koalisi mereka, di mana Demokrat yang ngambeg ala anak-anak itu sangat susah dikendalikan. Marah tidak bisa, diam berbahaya. Ditambah kisah Jakarta, yang ada adalah tontonkan politik dagang sapi semata.