Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Erick Tohir Vs Djoko Santoso, Pengalaman dan Kapasitas

Diperbarui: 17 September 2018   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik menunggu nama yang akan disebut koalisi Prabowo-Sandi yang hingga kini, belum juga jelas. Mengapa alot begitu? Jelas karena kebersamaan yang dibangun sangat lemah dan lebih sarat akan kepentingan.  Tarik ulur karena berkaitan dengan pileg yang ikut dompleng tenar ppara calon. Partai politik yang memiliki calon atau menjadi ketua tim pemenangan jelas memberikan prestise, dan keyakinan yang lebih besar. Tidak heran mereka masih belum yakin untuk menyatakan dengan pasti satu nama. Mau mengambil non-partisan mereka juga tidak cukup berani.

Lagi dan lagi, bagaimana bisa memilih satu nama untuk tim pemenangan saja susah, apalagi kalau memilih kabinet dan jajarannya. Jauh lebih alot dna ruwet, jadi pilihan sudah jelas ke mana dengan pendekatan ini.  Sangat bisa dipahami pilihan andi mundur ternyata untuk "kampanye" diri sendiri jelas sebagai bakal calon wakil presiden dengan bersafari keliling Indonesia. Dia tahu kalau tidak mundur jelas tidak bisa. Artinya, secara defakto, Sandi lah ketua tim pemenangan itu. Apalagi ketika sahabatnya Erick Tohir ada di sisi yang berseberangan.

Pengalama ET yang sangat luas dalam banyak hal dan bidang, jelas membuat makin keder Prabowo  dan kawan-kawan untuk mendeklarasikan Djoko Santoso sebagai ketua tim pemenangan mereka. Benar Djoko santoso itu bintang empat, pengalaman dan profesionalisme serta manajemen, tidak kurang. Perlu diingat, sisi lain itu baru saja menggelar gawe dengan ribuan relawan, banyak bidang yang harus disatukan demi AG. Olah raga, seni, relawan, media, profesional dalam banyak bidang, dan bisa gilang gemilang. Tanoa mengecilkan arti Djoko Santoso, ingat kinerja panglima itu komando, ari atas A  yang akan begitu sampai prajurit dua di puncak gunung atau tengah laut.

Apakah bisa demikian dalam kinerja sipil, sosial, dan relawan itu? Sangat berbeda. Ketaatan buta ala militer tanpa pernah ada dan boleh bantahan. Pendidikan dasar mereka adalah itu, ketaatan tunggal. Dalam kerja tim, relawan, politik, hal itu jauh berbeda. Hal yang akan mudah bagi koalisi Prabowo-Sandi, jika yang mau dalam tim pemenangan adalah Moeldoko, atau Luhut sekalipun. Sebanding dan bisa diketahui lah kapasitas dan langkah yang mau diambil dengan antisipasinya jauh lebih mudah.

Ketika profesional yang ada, Sandi memang bisa mengimbangi, namun maaf seribu maaf, dalam usaha pun Sandi lebih banyak terdengar suara minor, berbeda dengan ET. Apalagi Djoko Santoso, jika pun mengelola perusahaan, tentu dia bukan seutuhnya profesional, cenderung hanya pemilik yang pasif dan mendapatkan hasil dari sana. Cukup berbeda orang memiliki usaha atau menjalankan usaha. Berbeda jauh dan tidak sebanding. Bagaimana antisipasi dan menghadapi goncangan itu tidak terasakan dan bisa memberikan antisipasi karena bukan pelaku langsung.

Publik paham, bagaimana perilaku Sandi yang memulai safari politiknya, ya alasan menyerap aspirasi anak bangsa, apa bedanya dengan kampanye. Semakin tidak mudah juga bagi Djoko Santoso , jika nama ini yang menjadi ketua tim pemenangan, mengapa? Langkah Sandi yang telah demikian jauh, tipikal bos dan atasan bisa tidak sinergi dengan apa yang seharusnya diatur oleh tim pemenangan.

Djoko Santoso  nampaknya hanya akan menjadi nama pajangan bagi tim pemenangan. Susah meyakini bisa bekerja dengan baik di tengah tekanan dan tarik ulur begitu banyak kepentingan yang ada di sana. Partai-partai itu setengah hati dalam pilpres. Ini apa mampu meyakinkan pemilih? Jelas tidak

Belum lagi para pendukung jauh lebih kuat mereka berjalan sendiri-sendiri untuk mengamankan posisi mereka dalam pileg. Hal yang sangat realistis, mereka kalah tidak kehilangan, kalau menang, jelas mereka akan berlomba-lomba merasa paling berjasa.

Sangat mudah dipahami mengapa kader mereka yang menjadi kepala daerah tidak masuk tim pemenangan. Ini seharusnya menjadi  tanda tanya  besar bagi koalisi bukan malah mendukung ala Demokrat yang malah boleh memenangkan Jokowi, atau partai lain yang tidak memaksa mereka dalam pilpres. Atas nama netralitas, benarkah? Kita  lihat mereka nanti kampanye pileg tidak?

Ini krusial dan justru titik kemauan besar mereka dalam komitmen bersama dalam mengusung Prabowo-Sandi.  Namun nyatanya malah seolah mereka nyaman-nyaman saja, padahal ini jelas mendasar. Bagaimana keputusan mereka itu bisa diabaikan sendiri, karena jelas kepentingan yang tidak bisa diakomodasi dengan baik demi pileg.

Belum lagi di dalam menyikapi isu-isu sektarian partai. PAN dengan pernyataan Prabowo soal kemampuan menggulingkan Ahok, ini serius, bukan pujian, malah skak parah bagi PAN, bahwa mereka menggunakan sgala cara demi kepentingan sesaat. Apa itu sederhana? Jelas tidak, kali ini karena kepentingan yang sama, mereka pura-pura diam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline