Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Kenaikan Dolar, Nasionalisme, dan Jiwa Kerdil

Diperbarui: 6 September 2018   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari ini, kondisi dunia sedang ada gunjang-ganjing soal naiknya dollar terhadap mata uang di banyak negara. Beberapa negara bahkan sudah megap-megap kondisinya. Nah moment bagus, para politikus minim pretasi mengaitkan hal ini dengan kondisi bangsa. 

Malah mulai dimirip-miripkan keadaan ini dengan krisis '98. Berbagai data disajikan para ahli bahwa kondisi itu cukup jauh berbeda. Satu indikasi yaitu menguatnya dollar tidak serta merta akan sama kejadian 98.

Jadi ingat, waktu itu usai kuliah, mau masuk ke asrama, ketika mengurus segala administrasi masuk sekolah baru itu, di angkutan kota, banyak yang mengeluhkan mau membeli beras sebojok, istilah di daerah untuk kisaran delapan kilo saja susahnya minta ampun. 

Perlu diketahui desa saya dulu sentra beras dengan adanya 3-4 penggilingan gabah. Pedagang beras itu sangat banyak, membeli gabah basah atau kering kemudian diolah menjadi siap edar. 

Bayangkan, daerah beras tetangganya tidak bisa membeli beras. Semua beras ternyata tersedot ke Semarang. Hilir mudik colt L-300 dengan penuh muatan memang.  Itu kondisi 98. Kali ini, sama sekali tidak ada, mau beli beras seberapapun silakan saja.

Demi hasrat memenangkan kontestasi politik, mereka hendak menangguk untung dengan banyak trik yang seolah-olah nasionalis. Mau melepas tabungan atau simpanan mereka yang berupa dollar. 

Yakin ini mau membantu negara, atau mau mencari untung semata? Bisa dilihat rekam jejak mereka. Berapa bagian yang mereka lepas dan yang mereka tahan. Toh ini satu indikasi yang belum memberikan banyak informasi bagi hidup bersama. Namun ketika sudah melebar dengan menyebut pemerintah gagal, bisa dilihat rekam jejaknya sejak lama seperti apa.

Nasionalisme juga bisa dilihat sikapnya menghadapi hal ini, bagaimana media bisa dengan sangat sadis dan merendahkan ketika memilih kata untuk menggambarkan keadaan ini, keok, terkapar, KO, tidak berdaya, kata dan kalimat negatif demikian yang selalu dijejalkan dan diberikan kepada masyarakat. Pantas Jepang, Korea, China itu bisa maju dan bertahan di dalam berbagai keadaan. Mereka memiliki jati diri yang cukup kuat, bukan malah gila yang selalu berbau asing dan minder dengan jati diri sendiri.

Sekarang bayangkan dan renungkan saja, berapa banyak sih bangsa ini yang memiliki dolar? Wong melihat yang namanya dollar saja tidak banyak, mengapa geger? Karena elit yang ada maunya. Mereka pun mendapatkan keuntungan kog dengan tabungan mereka berbentuk dollar. Hanya saja mau membuat resah dan mengaitkan dengan rakyat akan menderita, rakyat akan tercekik, rakyat yang mana?

Lebih miris lagi itu pejabat yang kalau mau jujur hitung-hitungan gajinya dengan rupiah, besarannya jelas, kog bisa teriak-teriak menukarkan dollar? Lha dari mana mereka punya dollar? Berbicara tentu bukan yang berasal dari pengusaha, namun yang ASN atau pejabat  yang tidak berangkat dari pengusaha. Lucu dan aneh sebenarnya.

Rakyat kebanyakan itu selalu pakai rupiah, paling-paling uang asing bagi yang naik haji, pun bukan dollar. Hayo ngaku saja siapa sih yang paling punya banyak dollar? Pengusaha, yang jalan-jalan ke luar negeri, baik dinas, ataupun atas nama dinas, pejabat yang menerima suap dalam bentuk apel washington, mana ada yang makan saja di warteg namun berbicara dollar berpengaruh pada mereka?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline