Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Neno Warisman dan Pengamen Super VIP

Diperbarui: 29 Agustus 2018   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.viva.co.id

Mencermati kisah Neno Warisman terakhir, jadi ingat beberapa waktu lalu, pergi ke sebuah kota. Angkutan umum yang masih mengizinkan pengamen, sedang bus yang biasa saya naiki secara rutin, menang sekian lama sudah tidak bisa disambangi pengamen dan pengasong. Cukup kaget dengan keberadaan pengamen ini, dia tidak menggunaka keecrekan ataupun kencrung, atau gitar, atau alat musik lainnya.

Begitu naik, bus ini cukup penuh bahkan banyak yang berdiri, ia sigap mengatur penumpang untuk bisa berdiri dengan nyaman, dan muat lebih banyak. 

Awalnya saya pikir kru bis, suara dan modelnya kog bukan. Apalagi pas menegur seorang pemuda, nampaknya mahasiswa yang menggunakan tas punggung di punggung."Wah tidak pernah naik angkutan umum ya, tasnya taruh di depan, biar sama-sama enak dan aman," katanya langsung. Kru tidak akan sedemian lugas. Ia atur dari belakang ke depan. Bagaimana berdiri dan nyaman, cukup cerewet juga dia.

Sebelum mengamen, ia menyapa dan mengucapkan terima kasih kepada sopir, kondektur, dan kernet dengan sapaan khas asal kru dan nama. Hal yang sangat jarang pengamen menyapa nama kru satu persatu, dia kenal berarti dan bagus dalam berelasi. Ia katakan pengamen antarkota, di mana ia berdiri di lampu bangjo sebanyak sekian ratus antarruas dua kota tersebut.

Lagi-lagi mengagetkan ketika ia menyatakan pembatasan pemberi uang kepadanya.  Anak-anak larangan keras karena belum waktunya, meskipun itu adalah wujud pendidikan saling berbagi, dan ini benar-benar dia terapkan, ketika ada anak yang memberi tidak ia terima, belum masuk kategori pemberi yang ia syaratkan. Konsisten juga rupanya.

Syarat kedua, ia tidak mau menerima dari anak sekolah, karena lebih baik untuk jajan apalagi kalau ditabung untuk studi lebih lanjut. Toh uangnya pun dari orang tua, belum bisa menghasilkan uang sendiri. Logis alasan dan bisa dimengerti.

Selanjutnya, ia juga tidak akan menerima pemberian dari orang tua, kasihan mereka harus dimuliakan bukan memberikan kepadanya yang masih muda dan bisa mencari dari yang lainnya. dia memang masih cukup muda, kisaran empat puluh menengahan lah. Sangat wajar.

Ia mengaku lulusan sekolah seni, dan berpuisi untuk mengamennya. Ia berpuisi soal kritik sosial tentunya. Sangat wajar, tanpa menuduh siapa-siapa, kondisi memang demikian, tidak ada sakit hati, dendam, apalagi hanya menjual derita sebagaimana pengamen lainnya yang sok kritis.

Ketika menarik saweran benar-benar ia konsisten, ketika meminta pada anak muda dan tidak diberi, ia katakan, "Anda muda, (harus= tambahan) memberi karena sesuai kriteria," pemuda itu diam saja. Ha..ha...lumayan gendeng juga, sebenarnya saya mau tahu bagaimana reaksinya ketika saya menolak untuk tidak memberinya, eh dia hanya berlalu begitu saja. Jadi tidak ada kesempatan untuk bisa bersilat lidah seperti pengamen itu yang menjungkirbalikan keadaan yang biasanya ada di angkutan umum.

Apa yang ia tampilkan itu sangat berbeda. Biasanya mengamen di angkutan umum lebih mirip pemalak daripada pekerja seni jalanan. Main paksa termasuk pada kru untuk mematikan audio yang biasanya ada di angkutan. 

Penampilan yang sok seniman dengan berbagi atribut yang ternyata tidak selaras dengan kemampuannya. Ia berpuisi dan berdeklamasi dengan baik. Pun ia sigap membantu kinerja kru dengan mengatur penumpang, dan termasuk membantu penumpang untuk bisa nyaman di angkutan tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline