Efektifkah pendaftaran akun medsos kalangan akademis di perguruan tinggi untuk antisipasi "radilkalisme", media, dan tokoh bicara dengan istilah tersebut. Dalam salah satu artikel Kompasianer Tilaria memberikan komentar lebih memilih fundamentalisme daripada radikalisme, dan ketika melihat KBBI baik online ataupun cetak, memang lebih pas fundamentalisme.
Untuk artikel ini mau mengupas soal wacana bahkan sudah menjadi anjuran di Unnes, bagaimana pihak kampus mendata akun media sosial. Efektifkah?
Sebagai sebentuk upaya, baik-baik saja, namun apakah efektif da efisien, itu yang lebih penting. Jadi bisa saja dilakukan, namun tentu perlu dilihat lagi banyak hal apakah itu akan memberikan dampak yang cukup signifikan.
Membuat akun media sosial, semudah membuat mie instan, mau asli dengan nama dan KTP ataupun pasport, ataupun palsu, setengah palsu, bahkan sama sekali berbeda dengan aslinya, sangat mudah.
Bisa saja laki-laki membuat akun perempuan dan sebaliknya. Atau anak-anak mengaku orang tua, dan sebagainya. Jadi jelas tidak sesederhana pendataan seperti penduduk misalnya.
Apakah menjamin mahasiswa dan dosen serta karyawan itu akan aktif dengan akun yang didaftarkan tersebut ketika berdiskusi, mengembangkan wawasan mengenai keyakinannya soal fundamentalisme? Sangat diragukan.
Bisa saja orang dengan nama akun resminya tidak pernah aktif, namun dengan akun lain menjadi pelopor dalam hal tertentu, hal yang sangat mungkin.
Penegakan hukum tanpa tebang pilih jelas lebih mungkin menjadi panglima di dalam menanggulangi faham fundamentalis ini. Bagaimana tidak, ketika orang bisa seenaknya sendiri menafsir apa itu fundamentalis, sedangkan ia merasa tidak demikian.
Dan sebaliknya, ia merasa masih lurus-lurus saja, atau ada yang menilai itu sudah fundamentalis, namun diusut secara legalis tidak mau. Hal ini karena rumusan yang bisa seenaknya sendiri bisa dimaknai demi aman dan kepentingan sendiri. Penegakan hukum ini juga perlu langkah sebelumnya yang jelas.
Rumusan dan definisi yang benar secara baku, mana yang ikut fundamentalis mana yang bukan. Susahnya di masa dan tahun politik ini menjadi serba tidak jelas. Kepentingan politik saja bisa membuat bebas atau masuk bui, pembelaan dan pelaporan dengan konteks yang sama dan sebangun. Artinya, multi tafsir dan perilaku seenaknya perlu diminimalisasi dengan adanya batasan yang baku dan jelas.
Pembelaan atas perilaku fundamentalis perlu juga menjadi sasaran penegakan hukum. Sikap bertanggung jawab model ini sangat rendah, apalagi ketika mengaitkan dengan politik dan agama. Semua bisa melenggang dan mengatakan seenaknya sendiri, padahal melanggar hukum ditarik pada kebebasan berdemokrasi. Bedakan dengan jelas mana demokrasi, mana fundamentalisme.