Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Pilkada Serentak, Mantan Koruptor, dan Hutang Budi Politik

Diperbarui: 30 Juni 2018   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BBC.com

Pilkada serentak telah usai. Sekarang tinggal menunggu beberap tuntutan oleh beberapa pihak, dan ketok palu, serta pelantikan. Sahih dan susah untuk menggugat apapun kisah di baliknya. Namun pembicaraan balik layar si A di daerah X dibiayai oleh Z yang bermakksud ini dan itu. Calon S dan Y ternyata oleh pemodal yang sama, jadi pemenangnya sama saja.  Demikian santer dan seolah itu wajar dan selesai tanpa ada apa-apanya. Lima tahun lagi akan sama.

Seorang rekan membagikan bagaimana pengalaman di daerahnya, bahkan ada media sosialnya, dengan terang-terangan bekas napi korupsi, maju lagi, dan menggelontorkan uang demikian royal dan vulgar. Pemodalnya pengusaha di daerah itu yang memang sedang naik daun. Pemilih yang sudah memperoleh amplop akan didua kali lipatkan jumlah yang diterima.

Partai politik susah mengendalikan kadernya yang bisa juga kader atau orang yang membutuhkan kendaraan ketika menjadi kepala daerah karena unsur pemodal. Pemodal ini bisa siapa saja, dengan motivasi apa saja, dan yang jelas sangat menyandera keberadaan kepala daerah. Bisa kepentingan bisnis, bisa semata taruhan, dan yang paling mengerikan jika digunakan untuk kepentingan diri dan kelompok.

Dominan bahwa pemilih masih belum paham permainan di balik layar model demikian ini. Pemilih masih berkutat pada yang permukaan. Tampilan persamaan labeling, suku, agama, sebatas partai, atau label yang sama. Soal rekam jejak dan perilaku potensial ke arah mana banyak hanya elitis yang tahu.

Pengetahuan elitis yang tidak banyak diketahui ini seharusnya dibeberkan oleh para pelaku yang tahu, sehingga orang sedikit banyak melek. Tidak cukup ketika sudah usai baru berkisah, apalagi ketika sudah kejadian kalau ketangkap KPK baru teriak, kan saya sudah tahu lama, basi, dan tidak ada gunanya.

Tanggung jawab partai politik untuk membut demokrasi sehat, bermartabat, dan murah. Prestasi menjadi rujukan,  bukan sensasi, apalagi korupsi. Koruptor dilarang nyalon bukan hanya legeslatf, jauh lebih memuakan justru eksekutif. Mana tidak lucu, dipimpin orang yang jelas-jelas terpidana, dan itu korupsi, lha diminta bertanggung jawab akan anggaran lagi. 

Jangan bicara soal hak dan HAM lagi, ketika rekam jejaknya memang sudah ia rusak sendiri. Ini bukan soal balas dendam, namun memberikan pemahaman yang lebih luas soal moralitas. Hukuman juga harus setimpal, jika memang berubah, syukur, lha nyatanya modelnya tidak berubah kog. Sesal itu tidak ada. Potensi mengulang sangat besar.

Politik biaya tinggi, suka atau tidak, para penyandang dana ini bisa menjadi dalang dan wayangnya itu para bupati, dan gubernur. Mendengar rekaman Setnov dan Reza Chalid itu sebenarnya benar kog, ada penyandang dana dalam gelaran apa saja. Bisa relawan, atau apalah untuk nama. Namun soal rekam jejak dan arahnya sebenarnya jelas. Soal kemauan berubah dan berbenah sebenarnya. Nah dengan  pemodal demikian, memang bisa berbuat apa para boneka ini?

Partai yang juga susah diyakini tidak disetir para penyandang dana ini, perlu membuat terobosan sehingga membuat demokrasi berkualitas. Bisa menyingkirkan para pemodal yang bertujuan mengatur UU dan sebagainya demi kepentingan sendiri. Hal ini yang bisa berbuat banyak partai, karena bangsa ini suka atau tidak masih dikuasai partai. Susah lepas dari sana, jika masih sistemnya demikian.

KPU, Bawaslu, dan jajarannya perlu lebih jeli melihat pelanggaran pemilu dengan kaca mata yang benar dan jernih. Jangan kalah dengan lagi-lagi pemodal, pelanggaran bisa melenggang. Alasan klasik kurang cukup bukti, tidak ada laporan, dan sejenisnya menjaid penyakit bangsa yang tidak akan pernah sembuh tanpa kehendak baik yang lebih lagi.  Perangkat mereka banyak, canggih, dan lengkap. Soal kehendak saja.

Peradilan juga perlu tegas dan adil, jangan takut alasan lagi-lagi basi, demi ketenangan, demi demokrasi, namun nyatanya menodai demokrasi itu sendiri. Ping pong ke sana ke mari ujung-ujungnya juga tahu sama tahu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline