PT nol persen, apa yang akan terjadi coba? Jika ambang batas penyalonan presiden seperti kehendak beberapa pihak dan kelompok adalah nol persen, atau tanpa batas, apa yang terjadi? benar satu sisi adalah hak politik warga negara, namun toh sepanjang hidup di dunia sangat kecil kemungkinannya ideal dan yang sempurna. Kebebasan pun akan beririsan dengan kebebasan pihak lain. Apakah ini melanggar hukum atau hak kebebasan? Jelas tidak, karena ada konsensus lain, yang telah disepakati bersama.
Ambil contoh, mengapa tidak ada gugatan atau ungkapan mengapa orang yang tidak mengenakan helm saat berkendara dengan sepeda motor ditilang sebagai melanggar hak asazi, kan bisa saja orang tidak mau dibebani dengan helm? Karena ada peraturan yang mengharuskan orang untuk mengenakan helm demi menjaga terhadap benturan jika ada kecelakaan. Jelas ada hal yang dikalahkan, kebebasan pribadi, perasaan berat, tertekan, demi kepentingan lebih besar, yaitu benturan kepala jika jatuh, bisa membawa pada kematian.
Apakah mudah penerapan wajib helm bagi pengendara sepeda motor ini? Sangat tidak mudah, terbatas dulu, kawasan tertentu, kemudian wajib di seluruh jalan raya, dengan toleransi helm asal helm. Meningkatkan helm menjadi standart seperti ini pun dengan pemaksaan, dan ketika sudah tahu manfaatnya, helm ratusan ribu, bahkan jutaan pun dibeli.
Benar bahwa PT sebenarnya tidak perlu, jika memang negara sudah maju, dan banyak politikus tahu diri, serta memahami bahwa menjadi presiden itu sebuah pengabdian bukan hanya mencari pekerjaan. Bukti bahwa hanya mengarah kursi dan kekuasaan, sedang amanat, tanggung jawab, serta pengabdian itu jauh dari pemikiran, adalah, mana ada kandidat, atau calon presiden dan wakil presiden, yang selama ini siap dan telah bersafari, bergerilya, dan gembar-gembor itu menyatakan setitik saja ide untuk memajukan bangsa ini? Nol besar.
PT yang telah diketok 20% kursi dewan dan 25% suara nasional itu pun masih digugat dan sudah diputuskan oleh MK bahwa hal itu tidak melanggar hukum dan jelas keputusannya. Eh kini ada lagi gagasan untuk menggugat itu, entah dengan pertimbangan apa. Yang jelas adalah hingga hari ini PT masih dibutuhkan dengan pertimbangan:
Satu, banyaknya calon bukan berarti baiknya kualitas pemilu dan calon. Melihat siapa-siapa yang semangat untuk ikut berkompetisi toh tidak ada yang menjanjikan program, hanya bisa menjatuhkan calon lain dan sering tidak mendasar. Hal ini saja memperlihatkan tidak berpengaruh signifikan dengan banyaknya calon dan kualitas pemimpin yang akan dipilih.
Dua, melihat rekam jejak dewan selama ini, susah membayangkan kalau presiden yang terpilih itu berasal dari partai yang tidak memiliki cukup banyak kursi di dewan. entah apa yang akan terjadi. Jelas saja sikap boikot kanak-kanak jauh lebih mungkin terjadi.
Tiga, sistem berdemokrasi yang masih mengandalkan okol-okolan dan berujung pada akal-akalan, memang harus ketat mengatur setiap gerak langkahnya. Miris sebenarnya negara sebesar Indonesia, namun masih maaf biadab, kurang beradab sehingga terlalu banyak aturan. Aturan ada untu dilanggar lebih mengemuka daripada mengatur tertib hidup bersama.
Empat, sistem bernegara yang masih saling sandera demi kepentingan sendiri di atas kepentingan hidup berbangsa sangat dominan. Lihat bagaimana pernyataan-pernyataan elit, lebih cenderung egoisme sektarian, keakuan, kelompok, label yang sama, dan sejenisnya, meskipun itu menodai hidup bersama, tidak penting.
Apa yang sekiranya perlu pembenahan untuk mengatasi kekacauan bernegara bangsa ini?
Sistem pemerintahan adalah presidensial, namun mengapa begitu dominannya dewan, ingat awal pemerintahan dan Kabinet Kerja dulu? Sandera KMP demikian kuat dan menghambat kinerja, apakah itu sudah hilang? Belum. Harus dibenahi dengan penuh kesadaran bahwa pengawasan bukan ugal-ugalan seolah pemerintah bisa ditekan oleh legeslator, sisi lain, legeslator pemalas di dalam menyusun RUU. Kalau anggaran dan kepentingan mereka, cepatnya minta ampun.