Pemabuk dan perilaku kita, membaca sebuah renungan dari Doa Sang Katak dari Anthony de Mello, jadi teringat dalam bermedia sosial, pun interaksi di Kompasiana, sering perilakunya demikian identik. Pemabuk telinganya terbakar. Temannya bertanya mengapa? Istriku cerboh, meninggalkan setrika masih panas. Ada telpon berdering dan aku salah mengangkat. Lha satunya? Tanya rekannya penasaran, si tolol itu menelpon lagi.
Menarik apa yang bisa kita saksikan, dengarkan, dan lihat, ketika kesalahan tidak mau mengakui apalagi bertanggung jawab. Kisah tadi jelas dia mabuk. Soal setrika dan istrinya, ataupun rekan dan telponnya sama sekali bukan penyebab utama. Kita sering menyaksikan bukan pejabat saja berlaku demikian, apalagi pelaku bermedia yang belum tentu luas pengetahuan dan pengalamannya.
Mencari kambing hitam. Khas model orang yang tidak bertanggung jawab akan demikian. Masalah adalah dia mabuk, bukan teman telpon atau setrika panas. Kasihan si kambing yang tidak tahu apa-apa dilibat-libatkan. Sering kita baca atau melakukan sendiri, kalau melakukan kesalahan malah sibuk mencari alibi atau dalih bahwa tidak salah. Kesalahan ada pada pihak lain. Repot lagi jika hukum dan peradilan belum bisa dijadikan rujukan yang terbaik.
Biasanya, selain mencari kambing hitam, akan melebar. Membahas A akan ke B dan seterusnya. Khas banget model pribadi demikian. Akan menyerang pihak lain yang diduga akan merontokan reputasinya. Persoalan hater dan lover usai pilpres 2014 dan pilkada DKI 2017 membuat dikotomi ini makin jelas. Kalah data, akan melebar ke mana-mana, yang seolah benar, padahal separo sesat sekalipun. Lihat faktanya, adalah kuping terbakar karena salah angkat telpon dengan setrika yang masih panas. Mengapa sampai menyalahkan istri dan rekannya yang menelpon coba? Tentu dalam hal yang konkret sehari-hari jauh lebih heboh daripada sekadar ilustrasi kisah ini. Bahas kemanusiaan bisa menjadi pilihan presiden.
Sikap bertanggung jawab itu perlu pendidikan, pembiasaan, dan jelas adanya keteladanan. Siapa paling bertanggung jawab? Jelas keluarga. Pendidikan paling dasar, yang utama dan pertama adalah keluarga. Bagaimana coba kalau orang tuanya saja saling menyalahkan, bapak menyalahkan ibu yang asyik ngerumpi, ibu tidak terima bapak hanya mencari uang saja, tanpa peduli repotnya rumah. Ini adalah pendidikan yang dilakukan secara langsung.
Tentu pernah melihat kalau anak jatuh dan kemudian menepuk lantai dan mengatakan lantainya nakal? Coba jatuh kan wajar anak kecil, mengapa lantainya yang disalahkan? Ini bukan mendidik yang baik. Dendam dengan menepuknya, meski pelan atau basa basi, mana anak mencerna yang demikian? Dua pelajaran sesat yaitu dendam atau membalas, kedua jelas mencari kambing hitam. Jatuh ya bangun, soal lantainya berlobang atau kenapa bukan yang utama.
Pendidikan model demikian, bisa dipahami kalau generasi angkatan 30-an atau 40-an, lha yang usia di bawah 30-an saja juga berlaku demikian. Mengapa? Pendidikan tradisi, apa yang diajarkan nenek moyang, bapak ibu, ditiru begitu saja. Apa yang diajarkan generasi dulu, tanpa disaring lagi, diterapkan begitu saja.
Pendidikan formal pun tidak membantu untuk membuat pribadi bertanggung jawab. Tanggung jawab itu ranah rasa, jiwa, yang sering diabaikan dalam pendidikan nasional. Kecenderungan mengedepankan ilmu pasti dan meminggirkan ilmu humaniora, saatnya panen persoalan psikis yang perlu waktu lama untuk menyembuhkannya.
Keteladanan. Susah mengharapkannya, kenyataan, fakta sehari-hari, orang yang seharusnya bertanggung jawab saja dengan enteng mengelak, menipakan kesalahan pada pihak lain, dan dengan muka bangga seolah tidak bersalah, tidak ketinggalan tokoh agama dan tokoh pendidikan.
Sikap "pemabuk" ini jangan dianggap sepele, namun sangat serius. Lihat saja agama sudah bisa dijungkirbalikan demi kepentingan sendiri dan kelompoknya, jika agama saja bisa diperlakukan demikian, apalagi peradilan. Hal ini sangat serius, bukan lagi masalah sepele.
Sanksi hukum saja bisa dibeli, apalagi sanksi sosial yang dengan semau-maunya bisa diatur, diterjemahkan, ditafsirkan sesukanya sendiri. Hal ini marak, dan seolah jadi gaya hidup baru berbangsa dan bernegara. Menafsirkan hukum sekehendaknya sendiri, kalah dan terdesak menyangkutkan label ke mana-mana,