Di balik UU antiterorisme, yang demikian cepat, hanya 10 hari kerja tidak sampai usai ada peristiwa mengerikan di Surabaya, atau tidak ada 12 hari kalender dari kejadian tersebut, setelah sekian lamanya bertele-tele, ada apa? Egoisme dan politik abal-abal dari para pemangku kebijakan. Menunjukkan di sana lebih cenderung bicara kepentingan kelompok semata dari pada bangsa dan negara. Wajar jika bangsa ini tidak bernajak maju, mundur bisa saja.
Mana komnas HAM, ketika mereka, para pembuat UU itu lama, korban manusia lho, polisi, masyarakat, dan ingat pelaku peledakan itu juga manusia yang sebenarnya masih bisa hidup, masih ada anak-anak yang berlarian karena memiliki bapak dan emak, ada anak yang masih menggelayut manja, dan kini berubah. Jangan hanya teriak ketika bandar narkoba mau ditembak mati. Apa bedanya? Ini manusia, jangan jadi korban kepentingan sesat dan abal-abal atas nama demokrasi.
Mana yang kemarin teriak belum mendesak revisi UU Antiterorisme, kog dalam 12 hari sudah berubah dengan begitu kilatnya ketok palu. Sudah berubah mendesaknya? Ketika usai banyak korban dan nyawa. Ini jauh lebih biadap ketika tahu bisa berbuat namun perlu korban dulu.
Mana katanya rekayasa, kog mingkem dalam dua belas hari dan ketok palu, jangan-jangan yang teriak rekayasa ini biasa membuat rekayasa demi kepentingan sendiri? Beda kasus sih, hanya menguatkan judul dan tema kalau yang ini.
Entah siapa yang nggapleki, dengan menunda-nunda pembahasan ini, yang jelas pemerintah juga terlibat lalai dengan mengapa tidak mendesak untuk segera diselesaikan. Setelah ada "ancaman" dengan perpu to dewan langsung tancap gas, coba jika itu jauh lebih awal. Entah di mana kelambatannya itu, kembali ini kajian berbeda.
Jelas ada pro dan kontra di dewan, klasik yang itu-itu juga. Bukan bahasan dalam artikel ini, wong setiap saat juga hanya berkutat begitu-begitu saja. Tidak beranjak jauh, watonsulaya. Dan ya gitu apa yang dicapai banyak yang paham.
Cepatnya ketok palu ini dengan tanpa merasa bersalah akan dijawab kan pembahasan lama, banyak hal yang perlu didiskusikan, dan kemmbali mbel gedhes. Beberapa kali cepet UU itu, namun ada juga yang bertele-tele. Melihat begitu cepatnya UU ini diselesaikan, sebenarya dewan dan pemerintah ini mampu dan cerdas, menjadi maaf agak-agak gimana gitu karena kepentingan politik yang entah bagaimana menyelesaikannya.
Hargailah kemanusiaan jika kalian memang berbeda pandangan dan pilihan politiknya. Selama hal ini menjadi pijakan harapan majunya bangsa ini akan makin meningkat. Manusia lho, jangan menunggu ada kejadian dan korban baru mengubah pandangan dan pola pikir, pun masih pula banyakan mulut miring.
Kembali dalam pengesahan itu banyak kursi kosong, coba apa artinya, mereka memang enggan bekerja dengan baik, dan makan gaji buta, padahal baru saja usai reses. Tidak ada lagi alasan turun ke konstituen, memperlihatkan rendahnya kualitas dewan periode ini, eh pimpinannya seolah merasa paling hebat dan benar lagi.
Cepatnya penyelesaian seperti UU MD3, memberikan juga gambaran seperti apa perilaku ugal-ugalan dan demokrasi akal-akalan yang mereka ciptakan itu. Tentu akan banyak celah yang sangat lemah jika tergesa-gesa, atau sebenarnya memang cerdas Cuma malas? Jika demikian, buat apa gaji mahal?
Perilaku terorisme ada harapan baik dengan secepat kilat disahkan seperti ini, meskipun tidak akan serta merta tidak ada lagi pelaku teror, namun ada harapan payung hukum yang lebih baik. Masalah klasik lain, soal korupsi. Haduh, kapan ada perubahan. Salah satu pimpinan dewan mengatakan yang paling ditakuti anggota dewan itu PPATK dan KPK, aneh, kalau orang tidak melanggar hukum dalam kaitan dengan kedua lembaga itu mengapa takut?