Belajar dari peristiwa Hitler, cukup miris dengan banyak hal yang terjadi di sana. Kedewasaan, kreatifitas, kekerasan, main hakim sendiri, dan tentunya ada juga politis yang terikut. Susah melepskan kepentingan politik kala, "korban" dan yang "menyebarkan" penyebab itu orang-orang politik.
Dalam peristiwa ini ada korban sekaligus pelaku, dan hati-hati aktor intelektual di balik kejadian ini jangan-jangan malah terbaiakan, karena selalu menyelesaikan masalah bukan pada dasarnya. Dalam kejadian ini paling tidak ada tiga pihak yang berbuat kesalahan dan kelalaian.
Pertama, pengeroyok, di mana mereka mengedepankan emosional sepihak tanpa mau melibatkan pihak kepolisian, apalagi jika berkaitan dengan spiritualtas, ada permintaan maaf. Kedua, penyebar meme, di mana itu adalah dipercakapan grup. Memang ini bukan kesalahan fatal, namun kondisi panas politis ini perlu dipikirkan. Percakapan privat bisa ke ranah publik.
Berbeda jika meme ini ada di medsos, seperti fb, twiter, atau IG. Unsur kesengajaan mengail di air keuh atau tidak, tugas polisi. Ketiga, jelas si Hitler yang sebagai pejabat publik tidak bijaksana dan dewasa di dalam bersikap. Ada jalan yang jauh lebih bijak, sebagai pejabat publik. Bukan untuk membuat meme begituan, ada saluran jauh lebih tepat.
Nasi telah menjadi bubur, Hitler telah bonyok, namun apakah maaf lagi dan lagi menjadi gaya penyelesaian masalah bangsa ini? benar bahwa maaf dan pengampunan itu kualitas tertinggi. Proses dan penyelesaiaan hukum tidak boleh diabaikan. Perilaku main hakim sendiri, kekerasan, dan model nggerudug ini bukan preseden baik, bagaimana bisa jika level anggota dewan daerah di kantornya bisa dihajar oleh anggota ormas.
Hal yang tentu menjadi masalah besar, bagaimana jika itu orang biasa? Hal ini juga berkaitan dengan keamanan dan kepastian hukum. Saya juga tidak sepakat kog model anggota dewan model membuat sinndiran, baik gambar lucu, apalagi kalimat via media sosial yang tidak ada manfaatnya untuk kebersamaan sebagai bangsa dan negara. Apa yang ada ini hanya demi kepuasaan diri sendiri.
Beda jika itu adalah rakyat biasa yang gemes dalam melihat perilaku elit. Namun jauh lebih miris adalah kekerasan dari ormas. Kreatifitas yang patut mendapatkan apresiasi, namun lagi-dan lagi malah untuk hal yang tidak semestinya. Boleh dan harus memberikan kritik, namun bukan untuk pejabat publik yang memiliki kesempatan, jalan, dan saluran yang lebih sesuai dengan aturan hukum di dalam berbangsa dan bernegara.
Main hakim sendiri, persekusi, dan main hakim sendiri yang telah mereda, entah mengapa bisa kembali terjadi, dan yang menjadi bulan-bulanan justru pejabat publik, di kantornya lagi. Hal ini patut menjadi perhatian bersama, bahwa keamanan bisa malah berbahaya jika berhadapan dengan "preman" karena banyak teman ini. Aparat penegak hukum tetap harus memproses paling tidak tiga hal.
Satu, kekerasan yang terjadi. Ini bukan main-main. Jelas pidana yang tidak bisa diselesaikan dengan maaf saja. Apalagi dengan reputasi yang berulang.
Dua, siapa yang menyebarkan gambar dari tangkapan layar. Apakah iseng, atau memang bertujuan untuk membuat gaduh keadaan. Hal ini bisa sederhana, bisa juga sangat besar akibatnya. Jangan dianggap remeh dan sepele, paling juga akan menjawab khilaf dan minta maaf. Naif jika iya.
Tiga, jelas perilaku Hitler dengan meme itu. Dan pembuktian oleh penegak hukum sangat penting. Meskipun Demokrat entah mengapa, atau karena prinsip satu musuh berlebih itu.