Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Masa Depan Anak-anak Korban Terorisme

Diperbarui: 13 Mei 2018   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anak-anak korban terorisme, baik anak pelaku, yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kelakuan emak atau bapaknya, anak polisi, atau anak-anak para korban yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Hanya karena beda "label" dan dicap boleh dibunuh atau diledakkan. Apakah masa depan mereka akan berbeda jauh, baik anak pelaku, anak korban, anak yang jadi korban yang sama sekali tidak tahu apa-apa? Sama saja.

Menurut pemberitaan, kerusuhan mako Brimob selain berita duka juga dua khabar bahagia dan miris, dengan kelahiran dua bayi dari korban polisi dan juga korban dari tahanan yang meninggal di sana. Dua bayi yang tidak berdosa, kehilangan bapak mereka. Bukan hendak melihat mereka bersebrangan paham dan kondisi, namun dua bayi tidak tahu apa-apa, tidak pernah melihat wajah bapaknya.

Kondisi berat, traumatis, dan juga kehilangan kasih sayang yang harus mereka alami seumur hidup. Jangan sepelekan kondisi lahir yang secara otak memang belum tahu apa-apa, namun bawah sadar mereka merekam banyak hal. Jika tidak hati-hati, bisa menjadi masalah kepribadian yang mendalam.

Masa depan anak-anak korban dari pihak kepolisian, sedikit banyak akan lebih baik. Si bapak atau ibu misalnya, masih bisa ada pensiun. Beasiswa dari kepolisian atau negara masih bisa lah diusahakan. Jelas minimal untuk pendidikan mereka bisa mencapai level yang diperlukan.

Para anak pelaku? Siapa yang akan menanggung mereka? Padahal masyarakat sekitar sering menolak, bahkan untuk jenazahnya, apalagi jika untuk menghidupi anak keturunan mereka. Iya jika keluarga besarnya mau menanggung, apakah juga tidak terlalu berat.

Belum lagi pembinaan anak-anak mereka. Sungguh berbahaya jika mereka dibesarkan di dalam kondisi yang sulit secara ekonomi, eh malah di cekoki dengan dendam bahwa polisi pembunuh bapak atau emak, tanpa tahu dengan baik kondisi dan kejadian secara lebih lengkap. Hal yang bukan tidak mungkin terjadi.

Anak-anak korban misalnya di gereja yang orang tuanya meninggal. Seberapa sih kemampuan gereja untuk misalnya memberikan beasiswa bagi anak korban ibadah misalnya. Apalagi untuk perbaikan gedung saja tidak sedikit uang yang perlu dikeluarkan.

Belum lagi, jika korban ikutan, misalnya orang yang sedang berjalan, atau berjualan, mana ada yang memperhatikan mereka? Kalau ledakan di gereja, gereja juga bisa mengelak dengan kami memberikan bantuan untuk jemaat kami saja sudah cukup berat, misalnya.

Masa depan, kesehatan, pendidikan, apalagi kesejahteraan banyak anak-anak terancam atas perilaku sembrono beberapa orang ini. Mereka siapa yang akan menanggung hidup mereka. Beaya saja sudah berat, apalagi cinta kasih.

Belum lagi, jika anak-anak korban para pelaku, terpidana, terorisme yang dididik, penuh kebencian, balas dendam, tanpa pendampingan lebih obyektif, bagaimana kualitas generasi muda bangsa ini. Jangan dianggap sepele daya rusak luka batin yang mengerak demikian.  Meluruskan saja susahnya  minta ampun, apalagi jika hanya dibiarkan. Ini bisa menjadi bom waktu yang jauh lebih berbahaya.

Korban egoisme segelintir orang, ini hanya kinerja beberapa orang yang licik, culas, dan penakut. Mereka memerintahkan orang lain untuk mati, dia, mereka yang menyuruh ini masih enak-enakan makan, minum, dan hidup seperti biasa. Entah di manapun mereka berada. Kalian pecundang yang menipu banyak orang, menyengsarakan lebih banyak orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline