"Aku bangga menjadi anak PKI", meretas ketakutan struktural, baca dengan baik, tanpa perlu sensi. Hal ini berangkat dari novel RonggengDukuh Parukdan Revolusi dari Secangkir Kopi,ingat ini hanya menjadi pemantik, bukan kemudian percaya denan novel lho ya. Judul buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI,hanya sangat menarik, berkaitan dengan kedua novel tersebut, soal membaca, belum.
Ronggeng Dkuh Paruk,mengisahkan tokoh sentralnya Sritil yang ikut menjadi korban keganasan dan mengerikannya cap OT. Mau apa-apa takut dan menjadi gila ketika mau dijadikan suap bagi kontraktor besar oleh kontraktor kecil, ia menolak. Diancam mau dijeloskan ke penjara karena PKI, ia gila. Pria yang paling dicintai, dan diberinya perawan sebelum bukak klambu,yang menjadi tentara pun tidak berani mengawininya karena Srintil dan saudara se puak di dukuh itu, telah dicap PKI.
Dalam Revolusi Secangkir Kopi,dibuka dengan kata, kendat......Pemberitahuan ada pribadi yang bunuh diri. Mengapa yang dikabarkan bunuh diri itu? Ia masuk sekolah kedinasan, sudah berjalan setahun, dna ternyata ada yang melaporkan kalau ayahnya tersangkut.Apa konsekuensinya? Ia dikeluarkan dan pupus masa depannya, bunuh diri atau kendatmenjadi jalan keluar. Malu, putus asa, dan tidak lagi melihat terang sangat wajar.
Hal-hal yang sangat tidak mudah dipahami, bagi yang lahir sesudah tahun 80-an, apalagi 90-an, apalagi era 2000-an, mungkin sudah tidak tahu betapa kejamnya dan menakutkannya OT. Jika OT benar-benar OT dan pelaku langsung seperti yang sering disebut di TV mungkin masih bisa lah menerima keadaan, menjadi jauh lebih ringan dengan dalih memang ada peran dari orang tua, atau saudara, tapi apa itu banyak? Tidak sebanyak yang hanya karena kata orang, tudingan dia PKI, sudah bisa menjadi kasus dan beberapa tahun kemudian tidak mudah untuk melepaskan cap itu, padahal BUMN, PNS, dan Militer pu Polri akan tertutup pintunya.
Pasti tidak mudah penulis buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI,nyatanya terus saja hal ini menjadi kredo dan lafalan yang diulang-ulang bagi yang percaya PKI masih kuat dan akan bangkit sewaktu-waktu. Artinya bukunya itu tetap membawa ketakutan dengan gaya yang baru.
Mengapa memilih judul meretas ketakutan struktural?Meretas, jelas ia memulai untuk berdamai dengan cap yang terus melekat, seperti tato di jidat dengan tinta hitam di atas kulit putih dan sangat besar. Semua hal dikaitkan dengan hal itu. Bayangkan saja, tidak makan mangga muda namun merasakan ngilunya gigi. Hukuman yang sangat efektif untuk menakut-nakuti. Sekali lagi, jika itu hanya karena tudinganorang yang tidak suka, orang iri, orang yang pengin istri cantik namun kalah, bisa menudingpesaing si suami cakep itu sebagai PKI, ia akan dapat istri baru. (contoh ekstrem)
Ketakutan penulisnya pasti juga tidak ringan, dan mungkin karena saking takutnya, semua akhirnya bisa diatasi, dan munculah buku itu. Jelas sangat provokatif. Namun itu penting bagi para korban pun elaku lain yang mendapatkan stigma yang sama. Kisah kekerasan yang sama-sama pelaku pun sama-sama korban, banyak pihak yang kehilangan, ada yang untung di sana.
Jelas saya tidak ada kaitan apapun dengan PKI, namun melihat fenomena di kala masih dini, belm paham, kemudian membaca di era yang berbeda ini. Betapa menakutkannya para penyandang cap OT itu. Bagaimana Srintil yang dipermainkan penahannya. Penanggung jawab tahanan tahu si ronggeng ini hanya penari penarik massa, penyelidikan ya demikian, buta huruf lagi, artinya ia bisa bebas sama seperti para panabuh calung, pimpinan kelompok, perias, dan tetangganya. Namun mengapa masih ada pesanan tanpa alasan untuk tidak memberikan pembebasan.
Tahanan khusus, ternyata oh ternyata, para pejabat yang tidak tersentuh itu sering tiba-tiba datang dan membawa pergi untuk bersenang-senang sendiri. Jelas ia bukan OT itu namun mereka yang kuasadalam bahasa Ahmad Tohari, bisa melakukan apa saja. Tentunya gratis, dengan bumbu, jangan buka mulut kamu OT, dan semua kebusukan tertutup dengan kata sakti OT. Di sinilah kekejian itu, bukan soal bahwa mereka melakukan ini dan itu, hukuman yang sering tidak berdasar, berlebih-lebihan, dan terutama ketakutan yang ternyata hingga detik ini masih dipakai oleh sekelompok orang.
Apakah hal yang sudah hendak dilupakan karena pedihnya, sakitnya ini mau dihidup-hidupkan lagi tanpa esensi tapi hanya demi kepentingan sekelompok orang semata? Jauh lebih baik dan bijak adalah adanya rekonsiliasi, islah, dan duduk bersama untuk saling memaafkan. Pengampunan bukan mencari siapa salah dan semua mengaku korban. Namun siapa yang mau memulai dan menjadi pioner?
Syarat yang harus dipenuhi ialah, tidak boleh ada yang merasa benar sendiri, paling benar, dan pihak lain sebagai yang salah. Duduk bersama sebagai sesama anak bangsa yang menderita. Memaafkan dan mengampuni untuk menatap ke depan. Contoh dari putera salah satu Pahlawan Revolusi Agus Widjaya patut mendapatkan acungan jempol.