Budha, Musa, Muhammad, dan Yesus, atau siapapun pemuka agama besar lainnya datang bersama apakah damai otomatis tercapai? Mereka seumpama datang, gak usah sensi dan ngamuk dengan ngawur jika tidak bisa melihat esensi, kemudian menghilangkan ayat, Sabda, atau apapun yang berpotensi merusak perdamaian, apa langsung damai?
Sering kan orang berbicara kalau agama sering menjadi penyebab pertentangan. Tentu bahwa agama dalam arti perilaku orang beragama. Semua menglaim yang terbaik dan paling benar, dan itu bisa menjadi pertentangan dan gontok-gontokan.
Nah jika mereka semua yang membawa dan memiliki umat terbanyak di dunia ini datang kemudian mau merevisnyai apa kira-kira yang terjadi?
Tetap saja akan ada perang pendapat. Pengikut setianya pun tidak mungkin tidak malah menuduh yang biasanya menjadi yang dipercaya sebagai gila, sudah tidak layak dipercaya, dan sebagainya.
Susah karena justru percaya dengan ayat yang tertulis, dibaca, direnungkan, dan diajarkan beribu tahun. Ketika ada yang mengusik, seumpama itu "pemilik" perkataan itu sendiri bisa ngamuk tidak karuan. Percaya tidak? Sangat mungkin itu terjadi.
Tuhan apapun namanya, sebutannya, dan sapaannya, sering disematkan Mahatahu dan Mahabenar, namun karena kebodohan manusia, kesempitan berpikir manusia, keterbatasan manusia di dalam menafsirkan, di dalam memahami, begitu masih ngotot dan merasa benar. Padahal belum tentu demikian yang Tuhan kehendaki. Ingat konteks dan teks, sekian ribu tahun tentu ada yang bisa saja selip atau salah dalam memahami. Mau ngamuk silakan, tandanya masih kanak-kanak dalam iman.
Sekian lama dalam keadaan yang statis tentu tidak mudah ketika berubah, dan perubahan itu bisa saja sangat menyakitkan, karena menjadikan diri dan kelompoknya itu sama saja dengan yang lain. Ya iyalah semua sama. Kan Penciptanya sama, satu, dan tidak berbeda. Hanya soal jalan dan cara.
Mengapa susah adanya perubahan dan kemungkinan tetap bisa damai?
Pertama, soal klaim terbaik. Jika mau memahami Penciptanya satu ya akan damai, tenang, dan bahagia. Mosok sesama anak Tuhan yang sama harus cakar-cakaran. Ini menjadi sensi karena adanya kepentingan duniawi, ekonomi, psikologis sebagai yang ter... Tengok saja jika mau seperti kecap, semua nomor satu, semua laku, dan tidak ada perkelahian soal kecap, karena tidak ada kaitan dengan nama diri dan hidup setelah mati dengan adanya kecap.
Kedua, lebih mengedepankan perbedaan daripada persamaan. Selama ini demikian kuat dan dominan, beda adalah musuh, boleh diapakan, boleh diinikan. Jika kembali pada point pertama, Pencipta yang sama, tentu semua akan akur.
Ketiga, kinerja Setan, makin halus, orang menjadi tidak merasa ayat Kitab Sucipun menjadi pemebnar atas perilaku tamak, keji, dan balas dendam. Setan membisikan, eh agamamu, ayatmu, dan penggedemu dihina itu, bakar saja. Nah di sinilah Setan menang dan lupa kalau Tuhan menghendaki sebaliknya. Ada pengampunan, ada pintu maaf, ada hukum, dan semua dilupakan.