Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Antara Menyambung Hidup dan Mengisi Hidup

Diperbarui: 13 Maret 2018   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Antara menyambung hidup dan mengisi hidup, beda-beda tipis, ada yang bingung membedakan, pun menghidupinya begitu saja. Beda jelas sebenarnya antara menyambung hidup atau mengisi hidup. jika orang mengisi hidup, apa yang dilakukan sepenuh hati, berbuat yang terbaik, dan tidak hanya sekadar. 

Menyambung hidup itu, memiliki kecenderungan yang penting bisa bertahan hidup meskipun dengan menjual jati diri, idealisme, menjilat, dan pokoknya menjadi landasan.

Dalam sebuah dialognya, Eyang Pramoedya Ananta Toer mengambil tokoh Jean seorang pelukis yang menyatakan hidupnya sebagai pelukis hanya menyambung hidup dengan melukis pembesar, pejabat, dan demi uang. 

Eks pejuang dari Perancis yang patah kakinya di Aceh ini, dengan menghidupi anak semata wayang dengan duka kehilangan istri yang merupakan pejuang Aceh yang pernah menjadi musuhnya. Ia melihat lukisannya hanya menyambung hidup. Demi hidup yang bisa bertahan dan menyambung, bukan dapat mengesplorasi dirinya dan bakatnya, menyampaikan gagasan melalui karya lukisnya.

Kemajuan teknologi sangat berpengaruh dalam  model antara mengisi atau menyambung hidup ini. Potensi untuk terpeleset sangat kuat, bagaimana orang bisa demi mendapatkan uang bisa melacurkan karyanya, tulisan misalnya. 

Memuji-muji satu pihak dan mencela pihak lain demi rupiah mengalir. Semua menjadi mungkin karena adanya dunia maya. Berdalih yang maya sehingga bisa berbuat apa saja. Menjual integritas diri demi materi.

Melakukan apa yang sejatinya tidak ingin dilakukan. Bisa saja menyatakan A di media padahal sebenarnya tidak demikian. Sama juga dengan orang yang munafik ketika menjual narkoba bagi orang lain, namun diri dan keluarganya tidak pernah menggunakannya karena tahu bahayanya. 

Pun melalui karyanya bisa mereka hendak mengubah persepsi yang buruk demi kepentingan diri. Mereka tahu dengan baik, jelas, dan kepastian bahwa yang ia tuliskan, nyatakan itu buruk, sebagian buruk, bahkan fitnah sekalipun.

Kebanggaan akan materi dan penghormatan terhadap kekayaan. Bisa disaksikan bersama bagaimana hal-hal ini terjadi di dalam masyarakat kita. Bangga dengan kemewahan meskipun hasil dari korupsi, suap, maling, dan merampok sekalipun. Penghargaan berangkat dari kekayaan bukan hasil kerja keras. Prestasi dan proses belum menjadi pedoman di dalam menghormati keberadaan seseorang. 

Demikian juga dengan gelar dan ijazah serta pangkat. Sering dijumpai orang dengan gelar akademik, gelar bangsawan berderet-deret namun kualitasnya nol besar pun masih tetap  percaya diri dan merasa bangga.

Penipuan, baik pelaku ataupun korban dengan mudah terjadi, karena pola hidup, gaya hidup, dan pendekatan sosiologis demikian. Coba bayangkan jika korban dan masyarakat sadar kalau murah itu tidak mungkin, ingat kasus Frist Travel, Abutour, dan lain-lain, tentu tidak akan berulang. Ada perulangan namun tidak akan sesering itu. Sikap kritis nampaknya hilang karena gila status dan gila harta yang lebih menakutkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline