Caci maki dalam media sosial dan peran media dalam literasi sangat dibutuhkan hari-hari ini. beberapa hari lalu, saya dicaci maki dengan kata-kata sangat kasar, eh yang mencaci itu sama sekali belum pernah nulis. Tepok jidat lah. Karena saya diajak dalam media tersebut, hal tersebut saya sampaikan kepada admin yang pernah menghubungi. Hal yang sama jauh hari sudah saya katakan kalau hal tersebut sangat burukk bagi kehidupan bersama.
Hari ini, ada link masuk yang menyatakan Pak Mahfud MD akan melaporkan polisi atas kementar netizenyang mengatakannya tolol. Sepakat sepenuhnya untuk pelaporan ini, agar kedepan orang bisa bijak dalam bermedia sosial.
Gereja Katolik dalam sebuah acara yang bernama Hari Komunikasi Sedunia, memberikan judul "Media Sosial apa Media Soksial?". Sosial berasal dari bahasa Latin, socius,kawan, teman, atau rekan. Ketika media sosial kog caci maki, ungkapan kebencian, di mana sosialnya?
Beberapa pihak mengatakan hal yang wajar, kan dunia maya, justru tidak wajar. Mengapa? Dunia maya dan nyata itu sama. Ketika berani hanya di dunia maya, artinya memang pengecut yang hanya berani karena berjarak. Peran media yang tentunya akan sangat berperan, dengan adanya fasilitas laporan, moderasi untuk menghapus postingan yang buruk, adanya kemauan untuk mendengarkan anggota komunitas.
Mengapa penting? Penyelenggara, penyedia dan admin sangat menentukan seperti apa media sosial ataupun media arus utama mereka akan seperti apa.
Media menjadi terkenal dan dikenal sebagai media mesum, ketika ada postingan sedikit mesum dibiarkan dan kemudian akan semakin meningkat. Pun dengan interaksi yang tidak sehat dengan mencaci maki dan mengatakan orang dengan seenaknya sendiri. Apalagi emosional yang sangat tidak mendasar, hanya asal semata, tanpa tahu apa-apa dengan isi atau pribadi penulisnya.
Perbedaan bukan berarti permusuhan dan bisa mencaci maki, nampaknya ada kecenderungan ke arah ini. Di sinilah peran media untuk menjadi "penegak tertib bersama", memang ramainya media, adalah tujuan, yang akhirnya adalah uang sebagai muara. Namun menjadikan perselisihan dan caci maki sebagai sarana mendongkrak iklan ataupun pembaca sangat tidak bijak. Media memiliki peran untuk membuat warga yang berinteraksi menjadi cerdas dan dewasa. Kerja keras memang. Dan itu konsekuensi.
Biasanya orang yang suka dengan cacian malah tidak pernah mengeluarkan ide, gagasan, dan buah pikirnya sendiri. Menjadi orang yang berkomentar dan hasrat sok tahu dan sok pintar sendiri. Jika dibiarkan pribadi model demikian merasa benar, merasa tidak bersalah dengan tindakan dan perilakunya. Kesalahan dan kebenaran menjadi sumir yang bisa malah menjadi merusak persepsi kehidupan bersama. Apalagi model demikian biasanya menggunakan kelompok.
Keteladan dan contoh buruk jauh lebih menular daripada contoh dan teladan baik. Lihat bagaimana sikap presiden saat menyikapi apa yang menimpa beliau. Menjaga jarak dan sama sekali tidak menampakan emosional yang berlebihan. Dicaci dan difitnah masih saja diam dan tidak merespons dengan berlebihan.
Di sisi lain, banyak dan mirisnya elit yang memiliki fans, pengikut yang luar biasa banyak melakukan model cacian, separo data, dan sejenisnya dengan masif. Suara sumbang dengan banyak pengikut dan echo,penggaung ini sering lebih terdengar dan berdampak. Contoh Fahri, Zon, dan kawan-kawan.
Untung polisi sigap dan tidak takut akan penilaian sumbang beberapa pihak dengan tindakan tegas persekusi,jika tidak, entah seperti apa tahun politik ini. Diikuti pemberangusan saracendan kemudian MCA. Jika tidak entah akan seperti apa hidup bersama dan bermedia di tengah kepentingan politis seperti ini. Toh demikian masih banyak juga pembela, lihat berikut,