Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Mentalitas Penyelenggara Pemilu

Diperbarui: 7 Maret 2018   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harian Analisa - Analisadaily

Obyektifitas, profesionalis, dan netralitas penyelenggara pemilu menjadi sangat penting dan bahkan vital bagi terselenggaranya pemilu yang benar-benar bermartabat. Menyaksikan dengan mudahnya PBB lolos, dan adany juga mengenai ijazah seorang bakal calon yang bisa pula dengan mudah dinyatakan lolos, melengkapi adanya oknum penyelenggara pemilu daerah yang ditangkap karena suap, memperpanjang daftar panjang masalah pemilu sebagai sebuah gerbang demokrasi yang menjadi impian. Memang dunia ideal tidak ada, namun paling tidak mendekatinya.

Tentu masyarakat akan dengan mudah bertanya-tanya kog dengan mudah dari penyelenggara pemilu menjadi pejabat elit di parpol ingat kisah Andi Nurpati dan Anas Urbaningrum, dan keduanya juga tidak bisa lepas dari masalah hukum, satunya menggunakan surat sakti yang menjungkalkan salah satu hakim MK dan satunya masuk bui belasan tahun dengan kisah yang tidak perlu diulang lagi. Jika wasit sepak bola biasanya mantan pemain, kalau ini dari wasit menjadi pemain. Apa tidak menjadi tanya, jangan-jangan tahu lobang yang bisa untuk kemudahan bagi "majikan" barunya.

Penyelenggara pemilu di dalam hal ini adalah Bawaslu dan KPU jajaran hingga paling bawah. Rentan dengan hal-hal iseng hingga suap yang tidak masuk akal, seperti SK dukungan parpol ganda, dan juga tidak ada tindak lanjut sebagaimana beberapa terjadi kemarin. Ini adalah muara ketidakberesan demokrasi ini. 

Kisah pelaksana di level TPS. Semua sisa suara kami masukkan pada kandidat tetangga sendiri. Ngapain susah-susah, toh kinerjanya tidak ada masalah, dalam artian masih ingat tetangga, tidak juga terjerat korupsi dan asusila lain. Capek juga, kolom kayak gitu. Mas itu mainnya lain, dia akan bisiki orang tertentu untuk memilih parpol dukungannya (telah terima uang, bukan karena kader atau anggota parpol).

Netralitas menjadi penting, sehingga ketika akan merumuskan peraturan, memutuskan kebijakan tidak akan memiihak salah satu calon, partai politik, atau apapun yang tidak demi bangsa dan negara. Repotnya adalah, karena begitu hiruk pikuknya politik, hukum, agama, dan emosional pribadi  menjadi masalah tersendiri. 

Masih ingat apa yang terjadi pada pilkada DKI salah satu petinggi penyelenggara ternyata ada afiliasi ormas dan pemikiran tertentu bukan? Boleh, mau memihak, mau memiliki perasaan, pemikiran pada sesuatu, namun lepaskan sejenak, karena sudah bersumpah untuk netral dan obyektif, selama menjabat penyelenggara pemilu. Apa mudah tidak, apa susah, tidak juga, toh banyak yang bisa.

Seolah eforia usai tertekan lebih dari tiga dasa warsa di dalam politik, kini bak kuda lepas dari kandang, dan menjadi apa-apa politik. Kini politik mewabah, bahkan anak kecil pun bicara politik. Artinya susah mencari orang yang benar-benar lepas dari kepentingan dan afiliasi pada parpol. Pengalaman Colina wasit terbaik dunia era 90-an toh sebagai penggemar Juve dia sering lepas kendali ketika berkaitan dengan Juve, namun dia bisa bersih dari tuntutan dan tudingan karena memang dia menyoba untuk tetap pada koridor sebagai pengadil yang sebaik-baiknya. Kekurangan yaang dibaca pihak lain tidak mengurangi kualitasnya. Di sini peran atensi pribadi untuk sejenak minggir.

Kemauan untuk taat azas dan sumpah. Mirisnya adalah mana ada sih orang yang masih menjalankan dua hal ini di negeri ini. Hal yang tidak menyenangkan di dalam berbangsa dan bernegara, ketika penyelenggarannya memiliki atensi, keinginan, dan kehendak pribadi, dan luar biasa anehnya bertentangan dengan apa yang menjadi idealisme bangsa dan negara, dalam hal ini Pancasila dan UUD '45. Begitu masih ada di dalam penyelenggara negara dan pemilu tanpa rikuh dan malu lagi. Masih kerenan dan ksatria teroris. (ingat bukan mendukung teroris, tapi sikap pilihan yang tidak munafik itu).

Mudahnya menang gugatan PBB, bukan menuduh PBB lho, gak perlu sensi, namun betapa ada sesuatu yang terjadi antara KPU dan Bawaslu, di mana masalah itu menjadi penting. Mengapa dengan mudah keputusan KPU dipatahkan Bawaslu. Demikian juga dengan penganuliran bakal calon di Sumut, mengenai ijazah yang sangat naif dengan mudah juga tersingkir. Ada masalah, dan sering masalah itu tidak diselesaikan dengan semestinya. Prosedur, praduga tak bersalah, selalu menjadi acuan dan pembelaan diri atas kinerja buruk dan tidak profesional.

Jangan salahkan kalau pemimpinnya buruk, mudah korup, ditangkap OTT, mesum dengan pasangan orang lain, mati mendadak padahal dinyatakan sehat dalam pemeriksaan kesehatan. Bagiamana hasil mau baik jika penyelenggarannya busuk dan rusak. Mesin kotor akan menghasilkan produk yang kotor juga.

Penegakan hukum masih sangat lemah, jelas-jelas saja bicara tanpa data dan fakta masih bisa kog menjadi pejabat negara, didengar banyak orang yang sering tidak mau tahu asal sama pemikiran dianggap kebenaran. Ini masalah, demikian juga dengan jelas-jelas orang bermasalah dengan hukum masih saja lolos dalam mengikuti proses pemilu. Kembali dalih praduga tak bersalah, bangsa ini sudah terlalu rusak, perlu mengubah praduga bersalah untuk pembersihan benalu itu, termasuk dalam penyelenggara pemilu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline