Kegentaran melanda Gerindra dkk, karena pencalonan kembali Jokowi. Menarik paling tidak ada beberapa pernyataan dan aksi yang sebenarnya menunjukkan hal yang sepele, namun di balik itu ada kegentaran dan takut kalau kembali mengalami kekalahan. Padahal dalam alam demokrasi sebenarnya hal yang sangat wajar di dalam alam demokrasi (katanya, toh kalah ngamuk dan memusuhi, artinya belum sepenuhnya demokratis kan?)
Judulnya ini tidak semata bombastis, karena ada fakta yang mendukung pemilihan judulnya. Jika tidak gentar tentu tidak perlu menyatakan atau melakukan hal yang lucu, aneh, dan berlebihan, namun tidak membawa yang baru. Masih mimpi mungkin kalau politik bisa dewasa, bijak, tidak gaduh, dan menohon pada gagasan dan ide, bukan hal yang remeh dan tidak berdasar yang menjadi sasaran dan kampanye.
Sebagian besar responden menghendaki adanya pergantian pimpinan negara, sebagaimana dinyatakan duet Fahri dan Fadli. Survey dilakukan duet F dari PKS dan Gerindra, via media sosial. Begini, namanya media sosial, pengikut dan yang ada di lingkaran itu, memilki kecenderungan yang sama, pola pikir, kesamaan ide, gagasan, dan ideologi yang sama.
Pandangan berbeda cenderung akan menyingkir, jarang yang mengikuti, apalagi mau cawe-cawe dalam surveynya. Pantas saja ketika hasilnya lebih dari 70% yang menyatakan permintaan pergantian pimpinan. Jika memang mau obyektif dan serius dalam melakukan riset, coba tanyakan siapa yang dikehendaki mengganti. Pertanyaan lanjutan ini tidak dilakukan karena mereka sendiri tidak yakin kalau akan mengarah pada nama yang mereka inginkan, misalnya Pak Prabowo atau Pak Fadli. Artinya surveynya tidak memberikan bobot apa-apa.
PDI-P dan kawan-kawan tidak punya stok lagi, sehingga mengajukan calon itu lagi itu lagi. Menarik adalah toh calon mereka juga itu lagi itu lag, ini pertama. Paling-paling juga Pak Prabowo kalau tidak jauh paling juga Pak Anies. Kedua, lha kalau punya tas branded mengapa harus menyajikan yang kw.Kan menjadi lucu, kandidat sendiri meyakinan, populer, keterpilihan juga masih tinggi, dan survey juga lebih banyak yang mendukung daripada sebaliknya. Ketika, UU juga memang mengatur untuk dua kali lima tahun, berbeda, jika mengubah UU untuk menambah lagi karena takut tidak ada kader yang mumpuni. Misalnya demi mendapatkan kembali kekuasaan mengubah syarat dan tata cara misalnya. Nyatanya kan masih satu kali lagi memang jatah yang diatur oleh UU.
Mengkritisi namun tidak berdasar dan berlebih-lebihan. Kritis dan kritik itu boleh, harus, dan bahkan wajib karena memang tugasnya untuk memberikan pengawasan. Namun tentunya bermartabat, terukur, dan proporsional. Bukan asal dan yang penting menjadi perhatian dan kubu eksekutif mendapatkan penilaian yang buruk. Misalnya soal penerimaan tamu dari IMF.
Sebaiknya bagi Gerindra dan kawan-kawan, terutama Pak Prabowo perlu untuk memberikan peringatan kepada kader, simpatisan, dan para pendukung untuk bersikap dewasa. Mengejar ketertinggalan dengan isu yang baik dan obyektif, bukan setengah fakta apalagi jika malah menggunakan data sesat atau disengaja disesatkan. Masih ada waktu kog, daripada mengritisi yang kadang malah ditertawakan orang, lebih baik berpikir untuk membuat program, gebrakan, ide dan gagasan, yang memang sangat telak mementahkan ide pemerintah selama ini.
Mengritisi pemerintah dengan bermartabat bukan hanya waton sulaya,asal berbeda dan membuat penilaian buruk atas citra pemerintah. Bangun opini dan persepsi masyarakat agar melek bukan sekadar membuat buruk dengan hal yang dibuat-buat. Rakyat banyak kog yang tahu mana yang benar, dan setengah benar, serta abal-abal.
Isu dan wacana strategis yang memang pemerintah kedodoran dijadikan saja bahan amunisi kalau memang berani dan ada nyali di sana. Bukan malah PKI yang sudah mati, terdekat itu soal '98. Saksi hidup masih banyak, pelaku dan korban masih ada, segar bahkan. Ini sangat menohok dan jelas banget, risikonya adalah, bisa menjadi bumerang sendiri.
Mengenai korupsi dan penegakan hukum. Jangan hanya mendua soal KPK dan korupsi, bongkar saja keseluruhan, bukan hanya teriak-teriak, tuduhan, dan keroyokan yang memang hilang terbawa angin. Ini strategis lho, beberapa partai pendukung pemerintah belepotan di sini, nah mengapa tidak dipakai untuk habis-habisan dengan elegan tentunya, daripada ribut UU MD3 yang demi kepentingan dewan dan anggotanya sendiri. Mengapa tidak memperbaiki perilahl korupsi yang jauh lebih mendesak? Kembali masalah risiko besar bisa juga menembak kapal sendiri.
Keberadaan MK yang makin nyaring terdengar sumbang. Ini masalah bangsa dan negara lho. Dewan bisa bersuara lantang dan nyaring untuk memberikan peringatan bagi keberadaan MK. Memang bukan atasan ataupun pengawas MK namun bisa memberikan warningatau mengritisi MK daripada selama ini meributkan KPK yang malah dicibir rakyat. Mengapa ada indikasi yang jelas malah diam?